Pelaksanaan
iring-iringan intat linto baro menggunakan serune kalee memiliki peran yang sangat
penting ciri-ciri musik tersebut menurut R.M Soedarsono terdiri dari diperlukan
tempat pertunjukan terpilih, diperlukan pemilihan hari, diperlukan pemain yang
terpilih, tujuan lebih dipentingkan daripada penampilannya secara estetis dan
diperlukan busana yang khas[1]
Iring-iringan intat linto baro
sebagai seni pertunjukan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok seni
fungsi primer dan kelompok seni sekunder.[2]
Seni pertunjukan berfungsi primer adalah sarana ritual, sebagai sarana hiburan
pribadi, sarana pesentasi estetis. Fungsi ritual berkembang dikalangan
masyarakat yang tata kehidupanya mengacu pada nila-nilai budaya agraris, serta
masyarakat yang memeluk agama dalam kegiatan-kegiatan ibadahnya sangat
melibatkan seni pertunjukan.[3]
Seni pertunjukan berfungsi sebagai sarana hiburan pribadi adalah penikmatnya
juga harus berpartisipasi aktif di dalamnya, sehingga seni pertunjukan yang
berfungsi sebagai hiburan juga bisa kita sebut sebagai art of participation.[4]
Fungsi sebagai hiburan pribadi setiap penikmat memiliki gaya pribadi
sendiri-sendiri, Tidak ada aturan yang ketat untuk tampil di atas pentas.
Penikmat bisa mengikiti irama tari serta merespon, kenikmatan pribadi akan
tercipta.[5]
Fungsi presentasi estetis merupakan seni pertunjukan kolektif hingga
penampilnya di atas panggung menuntut biaya yang tidak sedikit. [6]
Umumnya
seni pertunjukan yang berfungsi sebagai presentasi estetis panyandang dana
produksinya (production cost) adala
pembeli karcis. Sistem manajemen macam ini lazim disebut pendanaan yang
ditanggung secara komersial. (commercial
support).[7]
Seni pertunjukan berfungsi sekunder salah satunya seni pariwisata, seni
pariwisata adalah seni yang dikemas khusus buat wisatawan, yang memiliki
tiruan-tiruan dari aslinya, dikemas padat atau singkat, dikesampingkan
nilai-nilai primernya, penuh variasi, menarik, serta murah harganya.[8]
1. Fungsi
Primer
a. Sarana
Upacara Adat
Iring-iringan serune kalee dalam pelaksanaan intat linto baro tidak sebagai fungsi
ritual, karena kesenian ritual yang berkembang dikalangan masyarakat yang tata
kehidupanya mengacu pada nila-nilai budaya agraris, serta masyarakat yang
memeluk agama dalam kegiatan-kegiatan ibadahnya sangat melibatkan seni
pertunjukan.[9]
Namun, masyarakat Aceh tidak menganggap kesenian tersebut sebagai kesenian
ritual karena masyarakat Banda Aceh merupakan masyarakat yang memiliki pola
hidup masyarakat pesisir seperti yang diungkapkan oleh Jacob Sumardjo
bahwasanya masyarakat pesisir memiliki pola kehidupan dan semboyan-semboyan
yang berkisahkan tentang raja-raja seperti yang berkembang terdapat pepatah “ raja adil raja disembah, raja lalim raja disangah” hanya berlaku
untuk masyarakat berpola empat.[10]
Pelaksanaan intat linto baro disebut
juga perayaan raja si uroe (raja
sehari). Selama prosesi berlangsung merupakan adat yang berasal dari kata ‘adlah (kebiasaan). Adat ini merupakan
perilaku masyarakat Aceh sebagai perayaan atau upacara adat dan tidak memiliki
keterkaitan dengan kewajiban dalam hukum syariah, melainkan kebiasaan
masyarakat Aceh yang menjadi hukum dalam menjalankan adat di dalam masyarakat.
Serune
kelee merupakan sebagai pembuka pelaksanaan prosesi
upacara intat linto baro. Permainan serune kalee sekaligus menandakan pihak dara baro untuk mempersiapkan rombongan
penyambutan. Rombongan yang disambut merupakan elemen pemangku adat, keluarga
inti dari linto baro, para wanita
yang telah menjalani pernikahan serta pemuda pemudi kampung dari linto baro. Rombongan tersebut merupakan
bagian terpenting sebagai tanda rombongan masyarakat kampung telah menjalin
hubungan persaudaraan serta ikatan sosial untuk dapat saling bantu membantu dan
saling menjaga nama baik masyarakat yang telah terjalin melalui pernikahan
tersebut.
Upacara intat linto baro merupakan bagian dari
hukum adat. Kegiatan upacara intat linto
baro sebagai tanda komitmen agar masyarakat kampung dara baro juga melakukan kunjungan terhadap masyarakat kampung linto baro, apabila hal tersebut tidak
dilakukan maka dara baro tidak boleh
bertinggal di rumah linto baro.
Selama prosesi kunjungan dara baro
belum dilakukan menjadi sebuah pantangan yang sangat dijaga oleh masyarakat
Aceh hingga saat ini. Mempelai dara baro
tersebut dianggap belum bertegur sapa dengan masyarakat linto baro.
Berdasarkan penjelasan
di atas, serune kalee menjadi bagian
pengikat hubungan adat masyarakat. Musik yang dimainkan sebagai tanda kesiapan
membawa rombongan serta komitmen dalam melakukan hubungan yang erat antar
kampung terikat dalam adat Aceh. Pelaksanaan upacara intat linto baro merupakan bagian hukum adat bagi masyarakat Aceh.
Hal tersebut, dapat mendatangkan perasaan yang sanggat disukai, dihargai, serta
suatu tanda kehormatan oleh masyarakat Aceh. Pelaksanaan upacara terus menerus
dijaga oleh masyarakat Aceh sebagai bagian dari adat.
b.
Sarana
Hiburan
Seni pertunjukan serune kalee berfungsi sebagai sarana
hiburan pribadi. Permainan serune kalee
berada pada posisi paling depan dalam mengikuti rombongan iring-iringan serta
penyambut rombongan linto baro
terlibat sebagai penikmat selama
menjalani prosesi tersebut. Rombongan terlibat partisipasi aktif di dalamnya,
mengikuti suasana musik yang dibangun serta menertibkan langkah rombongan
terlibat di dalamnya. Durasi yang ditampilkan disesuaikan dengan jarak
iring-iringan yang sedang berlangsung, kemudian mendapat aba-aba menghentikan
permaina serune kalee dari pihak
pemimpin rombongan untuk melanjutkan prosesi adat selanjutnya.
Pertunjukan serune kalee sebagai hiburan pribadi setiap penikmat memiliki gaya
pribadi sendiri-sendiri serta sikap rombongan yang terlibat memiliki kesan
tersendiri dalam suasana khidmat tersebut. Selama pertunjukan berlangsung tidak
ada aturan yang ketat untuk menunjukan ekspresi wajah dan sikap khusus, para
rombongan memiliki kesan tersendiri selama prosesi berlangsung. Rombongan yang
terlibat sebagai penikmat bisa mengikuti irama musik serta merespon, sehingga
kenikmatan pribadi akan tercipta. Selama prosesi berlangsung seluruh
rombongan terlibat sebagai bagian dari pertunjukan tersebut sehingga serune kalee merupakan pertunjukan
kesenian yang bersifat hiburan pribadi dan memiliki fungsi primer di dalam
pelaksanaan prosesi intat linto baro.
c.
Sarana
Presentasi Estetis
Penyambutan rombongan linto baro selanjutnya disambut dengan
tarian ranub lampuan dan diiringi
dengan serune kalee, sebagai lambang
memuliakan tamu. Seluruh rombongan berhenti melakukan aktifitas untuk
menyaksikan pertunjukan tersebut. Rombongan yang disambut dengan tarian
tersebut merasakan suasana khidmat serta pihak dara baro menerima rombongan linto
baro dengan suka cita dan lapang dada. Pertunjukan tari ranub lampuan diakhiri dengan
menyuguhkan sirih kepada linto baro
beserta rombongan yang hadir, kemudian dari pihak linto baro akan menyelipkan amplop yang berisikan uang, hal
tersebut sebagai pihak linto baro
merasakan kesenangan atraksi yan telah disuguhkan. Kemudian, rombongan linto baro berjalan memasuki halaman dara baro bersamaan dengan dara baro menyambut linto baro sebagai tamu serta kepala rumah tangga, selama prosesi
ini berlangsung musik serune kalee
dimainkan agar suasana kemeriahan tersebut dapat berlangsung dengan suka cita.
Pemain serune kalee dituntut untuk menyajikan
musik yang sangat baik agar dapat didengarkan selama prosesi terserbut menjadi
berkesan. Selain dari itu para penari menggunakan kostum yang sangat rapi dan
berhiaskan mahkota sebagai tanda menunjukan kesiapan menjamu rombonggan linto baro merupakan hal yang sanggat
sepesial pada pelaksanaan upacara tersebut. Kesan indah dan meriah yang ditampilkan membuat
wajah para pendatang menjadi tersenyum beserta dengan sapaan terhadap penari. Sarana
estetis mendatangkan kesan indah, bersemangat (gurangsang) dan meriah yang membuat rombongan merasa nyaman selama
menggikuti prosesi adat. Kesan kemeriahan yang diciptakan oleh pemain serune kalee beserta penari membuat para
rombongan menjadi kagum atas persiapan dari pihak dara baro mempersiapkan kedatangan rombongan linto baro.
2. Fungsi
Sekunder
a.
Pertunjukan
Pariwisata
Pertunjukan serune kalee terkhusus dalam pelaksanaan
intat linto baro tidak dapat
digolongkan sebagai seni pertunjukan wisata. Penyajian serune kalee selama prosesi sebagai bagian satu kesatuan dari
keseluruhan selama prosesi intat linto
baro. Posisi serune kalee yang
membawa rombongan iring-iringan tidak menjadi pertunjukan yang dilakukan secara
sembarang tempat serta waktu yang telah disepakati berdasarkan dari kedua belah
pihak. Serta rombongan yang mengikuti prosesi merupakan orang yang telah
ditentukan untuk menghadiri pelaksanaan prosesi tersebut. Apabila terdapat
orang yang tidak diundang dalam pelaksanaan prosesi tersebut menjadi aib seseorang
bagi yang menghadirinya. Pelaksanaan upacara adat linto baro merupakan ikatan hukum adat yang dilakukan oleh antar
kampung, petingggi kampung, keluarga besar dari kedua belah pihak mempelai
pengantin, atau rekanan sebagai saksi telah terjalinnya hubungan kekerabatan
melalui adat Aceh.
Prosesi upacara intat linto baro sebagai pertunjukan
pariwisata sampai saat ini belum ada yang melakukan hal tersebut. Masyarakat Aceh
meyakini hal tersebut merupakan hal yang sangat tabu atau memainkan hukum adat untuk
dilakukan. Kedudukan adat bagian yang terus dijaga sangat ketat agar marwah dan
tidak melecehkan jati diri sebagai masyarakat Aceh. Lain halnya sebagai perayaan
pawai yang dilakukan pada hari-hari tertentu, seperti memperinggati 17 Agustus,
perayaan milad kota Banda Aceh, atau acara seremonial yang dibuat oleh
pemerintah. Posisi laki-laki dan perempuan yang memakai pakaian adat seperti linto baro dan dara baroe merupakan bagian dari simbol semata dan melakukan posisi
yang agak berpisah dari satu sama lain. Sedangkan pemain serune kalee sebagai pemeriah suasana dan bebas memainkan
musik-musik yang mereka kuasai. Akan tetapi para pemain tersebut memiliki
bayaran yang sangat mahal untuk memainkan acara-acara seperti tersebut. Faktor durasi
permainan yang serta jumlah pemain yang bertambah agar musik yang dimainkan
tidak putus-putus maka memerlukan pemain cadangan.
Kesimpulan
Lagu-lagu yang
digunakan selama iring-ringan menggunakan lagu ranub lampuan atau pemulia
jamee. Lagu-lagu tersebut dimainkan karena masyarakat Aceh telah mengenal
lagu tersebut sehingga dapat membuat suasana pelaksanaan prosesi tersebut
menjadi khidmat. Meskipun, lagu-lagu tersebut dikenal oleh masyarakat sebagai
musik iringan tari namun tidak menguragi esensi dari pelaksaanaan.
Kesenian serune kalee merupakan kesenian Aceh
yang telah mentradisi di dalam adat masyarakat Aceh. Kesenian yang hidup di
dalam masyarakat Aceh tersebut memiliki fungsi sabagai sarana upacara adat,
sarana hiburan dan sarana presentasi estetis. Sarana upacara adat merupakan hal
yang sangat disukai sebagai pelaksanaan hukum adat, sarana hiburan merupakan
hal yang bersifat menyenangkan selama prosesi upacara intat linto baro. Sarana presentasi estetis merupakan kegiatan yang
mendatangkan kenikmatan indrawi serta menjaga marwah Aceh selama prosesi
berlangsung. Hal tersebut, menjadikan kesenian serune kalee merupakan hal yang primer di dalam pelaksanaan upacara
intat linto baro. Pelaksanaan prosesi intat linto baro sebagai Fungsi sekunder
merupakan hal yang tidak dapat dilakukan, faktor dari masyarakat Aceh yang
masih menjaga hukum adat agar menjaga marwah serta jati diri ke-Acehan. Upacara
intat linto baro tersebut merupakan
puncak dari pelaksanaan adat meukawen
sehingga upacara tersebut sebagai simbolik seseorang pemuda dan pemudi menuju
bahtera rumah tangga dan menjadi bagian yang sah di dalam lingkungan masyarakat
secara agama dan adat. Upacara intat
linto baro suatu suasana kemeriahan, bersemangat (gurangsang), rasa syukur, menyambung tali silahturahmi serta
keberhasilan seorang pemuda menggambil tanggung jawab dalam kehidupan
sehari-hari maka serune kalee
memiliki peran besar dalam menyemarakan dan menyukseskan prosesi acara
tersebut.
Saran
Kebudayaan akan sukses
dijalankan dengan mengunakan strategi yang sesuai dengan masyarakatanya. Serune kalee sudah waktunya menjadi
kajian para peneliti dan menjadi keilmuan agar dapat diaktualisasikan secara
terukur. Kajian yang melibatkan dari berbagai disiplin ilmu juga dapaat
digunakan agar mendapatkan Epistimologi, Ontologi, Aksiolagi yang secara utuh. Bukan
hanya sekedar mengkopi paste dari pendapat sebelum-sebelumnya tentang
penjelasan keberadaaan serune kalee. Tokoh-tokoh yang telah menjelaskan tentang
serune kalee telah menjalankan tugas
mereka dengan baik dalam merekam jajak perjalanan serta keberadaan serune kalee dalam bentuk tulisan. Generasi
penerus merupakan yang akan terus mengembangkan serta sekaligus menjaga lokal genius ke-Acehan. Hal ini juga
memerlukan kesepakatan antar tokoh-tokoh adat serta para ulama juga agar
terjadinya keharmonisan serta kedinamisan. Pemerintah sebagai fasilitator
merupakan sumber utama untuk dapat membuka keran peradaban Aceh kedepan.
Wallahu’alam bissawab.
Penulis : Rudi Asman, S.Sn.
[1]R.M Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era globalisasi (Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada, 2002), 126.
[2]Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era
globalisasi (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2002), 122.
[10]Jacob Sumardjo, Estetika Paradoks (Bandung : Sunan Ambu
Press, 2006), 154-155.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar