Arsip Blog

Rabu, 18 September 2019

Asal-usul Serune Kalee Aceh



Instrumen tiup telah dikenal dan digunakan sebagai alat untuk memuliakan tamu ke negaraan yang datang ke kerajaan Bandar Aceh Darussalam dan hari-hari besar Islam. Anthony Reid menjelaskan dalam bukunya Menuju Sejarah Sumatra Antara Indonesia dan Dunia perayaan upacara awal bulan puasa dan idul fitri dilaksanakan dengan cara iring-iringan rombongan kerajaan ke mesjid menggunakan bunyi-bunyian gegap gempita dan tembakan senjata di sekitar istana untuk memulai atau mengakhiri puasa. Tahun 1600, Frederick de Houtmen mencatat pada awal puasa 29 sha’ban kaum bangsawan datang ke istana mengenakan pakaian yang terindah. Rombongan bangsawan tersebut diiringi dengan gendang ditabuh serta terompet ditiup perayaan terhadap raja (1604-1671) menuju mesjid juga menggunakan iring-iringan serta rombongan para bangsawan. Iring-iringan tersebut dengan suara hiruk pikuk barbagai alat musik seperti terompet, seruling, tambur, dan simbal. Pelaksanaan pertunjukan suatu perayaan kerajaan Aceh melakukan arak-arakan, dalam pelaksanaan tersebut terdapat terompet, gendang, panji-panji, dengan banyak orang, untuk mengiringi jendral (Inggris) ke istana sehingga banyak orang sangat berdesak-desakan. Terompet yang digunakan dalam pelaksanaan tersebut hingga kini belum dapat dipastikan sebagai serune kalee. Namun, serune kalee telah digunakan pada masa peperangan Aceh dengan Belanda. Alat tersebut telah digunakan dalam pelaksanaan upacara iring-iringan pernikahan.

Menurut budayawan Firdaus Burhan (Alm) menjelaskan keberadaan Instrumen serune kalee menyatakan tentang serune kalee sebagai berikut.
     “Peralatan musik ini (serune kalee) tidak hanya digunakan oleh masyarakat Aceh, namun juga masyarakat Minangkabau, Agam, dan beberapa daerah lain di Sumatra Barat. Bahkan, persebaran perlengkapan ini mencapai Thailand, Srilanka, dan Malaysia. Alat musik sejenis ini juga didapati di daerah pesisir dan lain dari Provinsi Aceh, seperti Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat dengan sebutan serupa.  Masing-masing daerah yang menggunakan musik jenis ini memberi berbagai macam variasi pada peralatan tersebut sehingga bentuk dan namanya juga bermacam-macam. Namun, di antara beberapa variasi serune terdapat kesamaan dalam nuansa suara yang dimunculkan, laras nada, vibrasi, volume suara, dinamika suaranya.”

Keberadaan serune kalee diduga diperkenalkan dari penyebaran agama Islam. Namun, sumber yang menyatakan klaim akan instrumen tersebut berdasarkan kisah para kelompok tarekat Islam yang memperkenalkan serune kalee. Berdasarkan data yang ada, peralatan ini sudah ada sejak masuknya Islam ke Aceh. Menurut Z.H Idris (Alm) menyatakan sebagai berikut. Aceh pada zaman dahulu merupakan kerajaan yang terbuka. hal tersebut, menjadikan Aceh cukup ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai wilayah di luar negeri. Zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Aceh mempunyai posisi penting. Kebudayaan di Aceh pada masa ini juga berkembang dengan pesat, salah satunya adalah bidang kesenian, dengan corak Islam yang kental.

Seniman serune kalee pada saat ini masih tergolong sedikit, faktor kesulitan pembelian alat yang telalu mahal hingga kurangnya referensi musikal untuk dapat mengolah serune kalee menjadi bagian garapan baru. Karya musik yang ada saat ini hasil dari para tokoh-tokoh. Tokoh seniman serune kalee pada saat ini dikenal dengan dua karakter. Pertama seniman yang masih memainkan lagu serune kalee hasil dari kelompok kampung Pande. Kedua seniman yang mengetahui atau menguasai keragaman materi musik serune kalee namun bermain pada wilayah musik garapan serune kalee. Seniman serune kalee pada tahun 1970-an dikenal orang-orang yang berdomisili di desa Kampung Pande Banda Aceh. Walaupun, ada juga seorang seniman serune kalee bertempat tinggal di desa Rima Banda Aceh. Kedekatan pemain serune kalee desa Kampung  Pande dengan sanggar Pendopo Provinsi Aceh menjadikan mereka dikenal sebagai tokoh seniman serune kalee. Dua tokoh besar dari desa Kampung Pande di antaranya adalah Abdullah Raja dan Ismail Sarong (B Ma’e) yang masih memiliki keturunan persaudaraaan dan Ceh Labo’ dari Desa Rima dikenal sebagai tokoh seniman individu. Ketiga tokoh dikenal oleh masyarakat ini lebih sering menggarap musik serune kalee dengan suasana India atau irama-irama lagu-lagu Aceh, karya-karya musik mereka hingga kini masih dikenang. Musik serune kalee pada masa 1970-an lebih dikenal dengan mudah dikarenakan irama dan melodi yang diciptakan tidak rumit untuk didengarkan, selain dari itu juga musik serune kalee yang dibawakan dapat membuat suasana lebih khidmat, sehingga iring-iringan tersebut dapat merasakan kesakralan serta kemeriahan pada hari pelaksanaan intat linto baro.

Berdasarkan penjelasan di atas, instrumen tiup telah digunakan oleh masyarakat Aceh dari masa kerajaan. Namun, penamaan instrumen tersebut belum mendapat penjelasan secara pasti oleh masyarakat Aceh. Penamaan serune kalee yang sampai saat ini telah mendapat penjelasan dan telah dikenal pada saat Islam masuk ke Aceh, serta intrumen tersebut telah digunakan dalam berbagai aktifitas masyarakat Aceh. Serune kalee mengalami perkembangan  dimulai dari tahun 1970 hingga kini.

Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra  Antara Indonesia dan Dunia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), 120-123.  
[1]Moehammad Hoesin, Adat Atjeh  (Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prov Daerah Istimewa Aceh, 1970), 28.
[1]Mujibur Rohman, “Serune Kalee Alat Musik Tradisional Aceh” http://melayuonline.com  diunduh 17 Juni 2016, lihat juga di dalam skripsi Anton Setia Budi hal 24.
[1]Mujibur Rohman “Serune Kalee Alat Musik Tradisional Aceh” http://melayuonline.com  diunduh 17 Juni 2016.
[1]Wawancara dengan Muhammad Rijal tanggal 10 April 2016 di rumahnya, diijinkan untuk dikutip.
[1]Wawancara dengan Muhammad Rijal tanggal 10 April 2016 di rumahnya, diijinkan untuk dikutip.

Minggu, 15 September 2019

Definisi Serune Kalee Aceh





Instrumen serune kalee dikenal dan tersebar di wilayah masyarakat Aceh Utara, Pidie, Lhoksumawe, Aceh Besar, dan Aceh Barat.[1] Hasil pengamatan selama di lapangan ditemukan bahwa serune kalee merupakan dua kata terpisah terdiri dari serune dan kalee. Kata serune pada umumnya digunakan penyebutan alat tiup yang menggunakan lidah (reed) dan menggunakan daun lontar sebagai sumber bunyi atau bambu.[2] Penyebutan kata serune banyak digunakan oleh masyarakat nusantara seperti, serune (Mandailing) [3], sarune bolon (Batak Toba), sarunai kayu (Padang)[4], sarunai (Riau)[5] atau serune (Sumbawa). Meskipun, asal kata serune ini belum ada yang memastikan apakah berdasarkan dari perbendaharaan kata Melayu. Namun, masyarakat Turki memiliki instrumen yang sama dengan penyebutan dengan Zurna dan masyarakat Kashmir menyebut instrumen tersebut dengan Sor-nai. Berdasarkan dari catatan bahwa Aceh merupakan daerah yang banyak didatangi oleh para pendatang asing yang juga menetap sehingga alat tersebut ada perubahan penyebutan dengan bahasa Melayu dan instrumen yang  diperkenalkan  oleh  para pendakwah Islam. Berdasarkan sumber buku kamus Aceh menjelaskan bahwa, Serune (serunai) memiliki arti seruling padi.[6] Kalee dalam bahasa Aceh memiliki arti umpama bernyanyi atau menari dengan berbagai cara (jakalee ).[7] Maka, serune kalee memiliki arti seruling bernyanyi atau menari.
Seorang pemain serune kalee Aceh bernama Ismail Sarong (B Ma’e) mengisahkan tentang terjadinya penamaan serune kalee. Dikisahkan Ada dua orang yang sedang mengerjakan serune, namun salah seorang temannya selama pengerjaan tersebut memiliki keperluan mendadak untuk pergi mengurusi urusan yang lain, di lain sisi harus menyelesaikan serune tersebut dan salah seorang diantaranya, berkata pada temannya “kah kalee ile siat barang nyoe” (tolong kamu selesaikan” barang/serune ini” semenjak itulah instrumen tiup tersebut diberi nama serune kalee.[8] 
Serune kalee dikenal sebagai instrumen dan juga dikenal sebagai kelompok pemain musik yang dilakukan secara ansambel yang terdiri dari serune kelee, rapa’i, dan geundrang. Kedudukan serune kalee dalam ansambel Aceh (rapa’i dan geundrang) merupakan penentu jalannya pertunjukan. Penampilan serune kalee diawali dengan musik rall (intro lagu), setelah si peniup telah cukup memberikan suasana lagu yang akan dibawakan si peniup memainkan melodi akhir lagu sebagai pertanda tempo yang mesti dimainkan beserta motif ritmis untuk penabuh ritmis. Kelompok peniup serune kalee pada dasarnya merupakan teman  kenalan yang sudah pernah melakukan latihan, sehingga motif dan tempo yang dibutuhkan oleh peniup serune kalee  telah di ketahui oleh penabuh ritmis, maka sering diucapkan oleh para pemain serune kalee. “Serune kalee  ibarat Raja, maka ikutilah apa yang diperintahkan Raja kalian”.
Berdasarkan penjelasan di atas, penamaan serune kelee diduga memiliki percampuran pangucapan bahasa yang dibawa oleh bangsa timur saat memasuki Aceh. Namun, masyarakat Aceh telah menyebut serune kalee sebagai seruling bernyanyi atau menari. Walaupun, seorang dari pelaku serune memiliki kisah yang berbeda dalam penamaan serune kalee. Namun, sampai saat ini belum ada yang dapat membuktikan kebenaran kisah tersebut. Serune kalee dapat dipahami sebagai instrumen serta juga kelompok bermain musik secara ansambel.           


[1]Isjkarim, “Kesenian Tradisional Aceh”, hasil lokakarya 4/8 Januari 1981 di Banda Aceh (Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh,1981), 60.
[2]Margaret Kartomi, Musical Journeys in Sumatra  (United Stateof America: University of Illinois press, 2012), 65.
[3]Kartomi, 271.
[4]Kartomi, 65.
[5]Kartomi,126.
[6]Aboe Bakar, Kamus Bahasa Aceh-Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka  2001), 367.
[7]Bakar, 873.
[8]Wawancara dengan Dedy “Kalee” Afriadi tanggal 25 April 2016 di rumahnya, diijinkan untuk dikutip.

Seni Pertunjukan Musik Kontemporer Etnik Aceh



Pertunjukan musik kontemporer etnik Aceh dalam perjalanan masanya akan berlaku menjadi sebuah fenomena pertunjukan di Aceh. Berdasarkan dari judul di atas terdapat variabel bahasa serta pelaksanaan yang harus dipertanyakan terlebih dahulu sebelum menjadi fenomena di masyarakat, serta menjadi genre baru di era sekarang ini. Untuk menjelaskan hal ini, memerlukan berlembar-lembar kertas serta waktu yang panjang  agar menjadi suatu pemahaman dalam pertunjukan musik kontemporer etnik Aceh tersebut. Kata musik, kontemporer, etnik dan Aceh dapat dikupas melalui kajian Etimologi, Musikologi, Etnomusikologi, Antropologi, serta Sosiologi. Hal tersebut, kata yang menjadi kalimat dalam pertunjukaan musik kontemporer etnik tersebut memiliki sejarah, epistimologi, etika dan estetetika yang telah dibangun oleh dari berbagai negara agar musik sebagai dari bagian pertunjukan menjadi sebuah identitas, khususnya Aceh masih dalam pada masa menggunakan sebagai kata serapan bukan sebagai wacana (bagaimana pratik tersebut dilakukan). Dengan tulisan singkat ini, penulis mencoba untuk mempertanyakan kembali tentang kata kontemporer serta etnik saja. Hal ini, mengelitik penulis untuk dapat dibicarakan lebih lanjut dalam forum resmi agar menjadi sebuah pemahaman yang menarik dalam suatu pertunjukan, khususnya musik.

Penulis mencoba memulai dengan kata kontemporer sebagai pembahasan dari judul di atas.  Kontemporer merupakan kata serapan dari bahasa inggris yang dari kata co yang artinya bersama dan tempo dipahami sebagai dengan waktu. Sehingga, dapat diartikan bahwa musik kontemporer adalah karya musik yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui (zaman kini). Dasar musik yang dipakai adalah pop, rock dan praise & worship. Peradaban musik kontemporer dalam perjalanannya di Eropa sebagai era musik yang menggunakan style musikal yang berbeda dari perdaban musik yang telah dibanggun oleh peradaban musik orkestra dan dengan kata lain sebagai bentuk perlawanan dari musik yang telah mapan di masyarakat Eropa saat itu. Melihat kajian musik kontemporer di Indonesia telah dilakukan dari tahun 1979 di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Perdebatan yang panjang telah terjadi antara praktisi musik tradisional serta pelaku yang menyetujui musik kontemporer sebagai bagian dari pertunjukan di Indonesia. puncaknya, karya-karya musik kontemporer tidak lagi menjelaskan ciri-ciri latar belakang tradisi budayanya walaupun sumber-sumber tradisi itu masih terasa lekat.
Kata Etnik /et·nik/ /étnik/  berdasarkan dari kamus besar indonesia antra bertalian dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya; etnis. Hal ini, tidak menyangkut ciri fisik atau ras saja. Etnik merupukan perwujudan budaya yang memiliki bentuk matrial serta non matrial. Sehingga, benda-benda yang tercipta merupakan sebagai dari simbol serta identitas suatu kelompok satu dengan lainnya.

Berdasarkan uraian di atas penulis memiliki pertanyaan yang sangat besar terhadap pertunjukaan musik kontemporer tersebut. Perkembangan musik di Aceh telah melalui proses serta tokoh-tokoh yang sangat banyak dalam menciptakan karya agar menjadi identik musik Aceh. Karya-karya tersebut tercipta secara dinamis agar dapat di terima oleh masyarakat pendengarnya. Hingga saat ini, masih ada pecinta musik-musik terdahulu mendengarkan musik tersebut maka karya musik tersebut tidak lekang oleh masa dan menjadi identitas musik Aceh. Pertunjukan musik kontemporer di Aceh merupakan hal yang harus dipertanyakan dalam pelaksanaanya. Pelaksanaan pertunjukaan musik kontemporer di Aceh musik tersebut bagaikan lompatan quantum bagi pengkarya musik bagi saat ini. Hal tersebut, dapat menjadi suatu pertunjukan yang konyol dan pertanyaan yang besar bagi penonton karena permusikan Aceh masih banyak permasalahan yang belum dibahas menjadi suatu pertunjukan, baik dari segi etimologi, epistimologi, etika serta estetika. Orang Aceh mengenal musik dengan istilah lagu maka hal tersebut telah dapat menjadi suatu kesamaan dalam perbendaharaan definisi musik secara general. Seni pertunjukan musik dapat dilihat dari segi suka atau tidak suka (faktor historikal pendengar), enak atau tidak enak (yang mempengaruhi indrawi pendengar) dan secara intelektual (melodi, timbre atau tempo).

Musik atau lagu yang di kenal oleh masyarakat Aceh memiliki Fungsi dalam suatu pertunjukan pertunjukan. Fungsi primer serta sekunder. Dalam pertunjukan yang menjadi suatu sajian baru ini musik etnik Aceh yang dikemas dalam tehnik kontemporer menuju pertunjukan sekunder. Pertunjukan seni sekunder dapat menjadi permasalahan yang harus diatasi secara sistematis agar bukan sebagai fenomena saja serta kebebasan ekspresi dari pengkarya tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal Aceh . Bentuk penyajian musik kontemporer dan musik etnik memiliki pehaman yang paradok (bertolak belakang) dalam suatu pertunjukan. Karya-karya musik Aceh dalam perjalanannya masih dalam tahap kreasi baru, belum sampai pada tahap pertunjukan musik eksperimental, apalagi sebagai bentuk perlawanan dalam tatanan masyarakat yang mapan. Pendengar musik di Aceh masih mendengarkan lirik yang dapat membangkitkan semangat gairah serta hal-hal yang responsif menjadi guyonan dalam suatu karya. Perkembangan musik di Aceh masih memerlukkan pelaku-pelaku musik yang mengarahkan perkembangan musik secara dinamis, jangan latah terhadap perkembangan genre musik yang dihadirkan dunia perindustrian musik dunia. Pendengaran instumen musik sebagai idiom menghantarkan pada suatu nilai ekstase masih memerlukan waktu bagi masyarakat Aceh, serta didukung dengan para ilmuan mendiskusikan serta mengarahkan pertunjukan musik kontemporer etnik di Aceh dapat menjadi suatu wacana dan cabang apresiasi yang memiliki nilai esensial.

Dalam tulisan singkat ini penulis mengharapkan kritikan lebih jauh lagi serta memerlukan ruang forum yang lebih resmi dan ilmiah, agar permusikan di Aceh dapat menjadi suatu perbendaharaan yang dapat di teruskan kepada anak cucu kedepan.

Wassalam

Rudi Asman S.Sn



Kumpulan Metode Penelitian untuk Musik Aceh

  Klasifikasi merupakan mengenal ciri khas atau pembagian kelompok permasalahan   dari suatu objek sehingga kita akan menjadikan objek ter...

popular post