Arsip Blog

Kamis, 24 Desember 2020

Kumpulan Metode Penelitian untuk Musik Aceh

 

Klasifikasi merupakan mengenal ciri khas atau pembagian kelompok permasalahan  dari suatu objek sehingga kita akan menjadikan objek tersebut menjadi fokus bahan penelitian. Dalam metoda pengklasifikasian harus di lihat dari teks dan kontekstual dari objek yang di teliti agar dapat menemukan benang merah dalam menjelaskaan suatu fenomena musik dalam masyarkat tertentu.

Proses Pembuatan Instrumen Musik Aceh


1.    Pengertian Musik

Musik dalam secara pandangan umum memiliki struktur yang terdiri dari Bentuk ,Komposisi ,pola . Bentuk musik  adalah kumpulan dari bagian-bagian. Bentuk musik di bagi dalam kalimat tanya (padang istilah jawa , Antisiden istilah barat ) dan kalimat jawab (Ulian istilah jawa , konsikuen istilah barat ). kalimat tanya memiliki bagian yang di sebut dengan motif (suku kata yang telah memiliki arti cth: Solo ) dan ujud (belum berbentuk kata atau belum menjadi sebuah suku kata cth: so).

Komposisi adalah susunan yang ada fungsi (arti),di dalam komposisi yang lazim digunakan dalam musik barat seperti intro, lagu, interlute, dan closing. Pola merupakan isi permainan / motif pokok (pola instrumen/ pola garap). Menurut pandangan dari Mantle Hood musik dapat di klasifikasikan dengan Melodik, Ritmik, dan kolotomis. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan dalam melakukan aktifitas memukul kentungan pada malam hari akan dapat dinyatakan sebuah musik apabila telah terjadinya kesepakatan bagi masyarakat tersebut dalam mendengarkan aktifitas tersebut.

Ritme adalah deguban yang diberi durasi panjang pendek nya deguban tersebut seperti deguban jantung (berulang-ulang atau teratur). Jenis-jenis Ritme menurt Alizabet hayes dalam buku Dance Compotition and production menyebutkan terdiri dari : 1. Metris : jenis hitungan yang jatuh pada hitungan berat (on beat). Pada irama ritme ini membuat kesan pada lagu menjadi gagah ,kuat atau tegas. 2. Singkup :jenis hitungan yang jatuh pada hitunggan atas (Up beat) pada ritme ini membuat kesan pada lagu menjadi riang atau  gembira. 3. Ritme Ritmis :jenis hitungan yang yang tidak teratur berdiri sendiri namun menjadi satu kesatuan dalam lagu (cth: sinden, kidung). 5. Resultan : dua pola ritme yang bergabung menjadi satu (imbal / grimpeng dll). Repshodik : hitungan bebas tapi tersusun mengakibatkan suasana lagu yang tercipata seperti bentrok. Poliphoni : pengabungan beberapa/banyak  pola ritme yang berbeda menjadi satu keasatuan ritme.(seperti gamelan bali/jawa) Nama lain dari pholiphoni adalah Kontrapung atau briuk sepangul dalam sebutan Bali. pola ritmis Ada juga yang sering di gunakan juga seperti Uni sound seperti yang dimainkan pada kepyar (Bali) atau rampak (nusantara). Melodi merupakan rangkaian nada yang ditandai adanya picth (tinggi rendah nada) yang di membentuk kalimat lagu tanya-jawab (indonesia), padang-ulian (jawa), pesu{pergi}-muleh{pulang} (Bali), anticident-contikuen (barat).

Bunyi adalah nada yang telah diatur sedemikian rupa, apabila hal tersebut tidak dlakukan maka tidak akan menjadi bunyi melainkan disebut dengan Desah. Musik dalam pandangan masyarakat barat memiliki elemen yang terdiri dari ritme, melodi, harmoni. Menurut locknert menambahkan beberapa elemen musik yang terdiri dari : Dinamika, Waktu nada, Bentuk, Tempo. Berbeda dengan masyarakat Aceh musik memiliki padanan kata dengan lagu. Meskipun didalam strukturnya tidak memiliki harmoni, timbre dan melodi, akan tetapi dengan memainkan melodi serta ritme telah disebut dengan musik (lagu).

2. Estetika seni

Seni adalah penampilan (representation) dan bukan kenyataan (reality), maka seniman dapat mengatasi banyak hal. Objek seni itu terdiri dari unsur seni itu sendiri secara murni, maka seniman dapat menampilkan karyanya melalui unsur-unsur tersebut. Objek yang ditampilkan itu berasal dari fase-fase kehidupan manusia, alam pikiran, ajaran tertentu, kepercayaan tertentu dan dunia estetika itu sendiri. Ini semua disebut tema (Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Perwira, 2004 : 24-25).

Tema ialah inti (pokok) masalah dalam hidup manusia, baik keduniawian maupun kerohanian, yang mengilhami seniman untuk menjadikan subjek yang artistik dalam karyanya. Tema secara universal terbagi 5 macam (Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Perwira, 2004 : 25-26).

a.    Tema yang menyenangkan

Tema ini paling mudah dan disenangi oleh seniman dan mudah dihayati publiknya. Seniman menampilkan dengan menunjukkan pada objek yang dapat kita sebut indah dan menyenangkan. Tema yang menyenangkan terdiri dari.1. Tema berbesar hati (optimistis), yaitu merayakan dan mengungkapkan keriangan. 2. Tema bercinta luhur (idealistis), yaitu mengemukakan cita yang bukan benda, atau menampilkan citra tertentu dalam pikiran tentang suatu benda. 3. Tema yang menimbulkan rasa enak atau ambisius, yaitu yang semata-mata menyenangkan tanpa tedensi yang berat (Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Perwira, 2004 : 25-26).

b. Tema yang tidak menyenangkan

tema yang tidak menyenangkan terdiri dari : 1. Tema yang tidak menyenangkan (tragis) yaitu, tragedi mengandung perjuangan titik akhir pada ujung penderitaan, yang mungkin kematian atau kejatuhan. 2. Tema yang menyedihkan (pathetis) yaitu, kehancuran dan nasib buruk ini tidak dikompensasikan dengan pertentangan atau perjuangan (Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Perwira, 2004 : 27).

b.    Tema lucu

Tema ini dapat meragukan situasi. Tema yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Tokoh yang tidak disenangi dapat ditinjau dari segi kelucuan. Bahan pada dasarnya atau mula-mula menegangkan atau menimbulkan ingatan yang tidak menyenangkan, berubah menjadi lebih ringan dan mengundang senyum pahit (Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Perwira, 2004 : 27).

c.    Tema renungan

Tema ini berisi tentang : 1. Keanehan dari fantasi seniman. 2. Nasehat atau khotbah (Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Perwira, 2004 : 28).

d.   Tema ungkapan estetis

Tema ini membina seni menjadi lebih murni, karna seniman memanipulasi berbagai kemungkinan dari unsur, aransemennya atau komposisinya (Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Perwira, 2004 : 30).

3. Konsep Seni Islam

Peradaban seni bagi kaum muslim pada awalnya adalah masi merupakan kegiatan yang belum menjadi sasaran utama bagi peradaban umat islam. Seni  pada masa arab kuno masih bersifat keahlian seseorang yang mampu mengungkapkan segala sesuatu dengan kata-kata indah dan berbau mistik atau lebih dikenal dengan syair. Dijelaskan oleh Philip k haiti :

 “Puisi-puisi terdahulu  ini terus dilestarikan dalam ingatan, ditransmisikan melalui tradisi lisan dan akhirnya di catat dalam bentuk tulisan pada abad kedua dan ketiga hijriah...prosa bersajak yang digunakan oleh para dukun dan peramal (kuhhan) dipandang sebagai tahap awal perkembangan bentuk puitis. Nyanyian para penunggang unta (Huda) adalah tahap perkembangan kedua. Tradisi bahasa arab asli yang berisaha menjelaskan asal-usul perkembangan puisi pada kebiasaan para penunggang kuda yang bernyanyi mengikuti gerak ritmis langkah untunya, tampak mengandung kebenaran. Kata hadi, penyanyi, adalah sinonim dari kata sa’iq, penunggang unta.

 Gaya puisi rajaz, yang terdiri atas empat atau enam baris sajak, merupakan perkembangan lebih lanjut dari prosa sajak dan mengantikan bentuk sajak yang paling tua dan paling sederhana. “rajaz adalah embrio puisi,” demikian ujar orang-orang arab, “dengan prosa bersajak [saj] sebagai ayahnya dan lagu sebagai ibunya.”

Al Qur’an  selama masa kenabian Muhammad SAW merupakan kalimat wahyu yang memiliki padanan kata diatas rata-rata pemahaman manusia pada masa tersebut. Baik dari segi perkataanya yang mengandung tanda-tanda yang mengagumkan, dan irama kalimat yang memiliki bunyi yang sangat mudah, Sehingga tidak jarang pada masa tersebut banyak para penyair untuk menantang nabi Muhammad SAW bahwa isi kalimat Al Qur’an dapat di tandingi dengan mengunakan syair manusia biasa. Namun Al Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia dan memperbaiki ahlak manusia. Dimana pada masa Arab kuno masih yang banyak tidak mengetahui akan tujuan hidup dan siapa yang menciptakan alam semesta. Sulah al alaq 96 1-5: merupakan sebagai seurah pertama yang turun sekaligus sebagai tanda bukti kenabian Muhammad ditugaskan untuk mengemban menyampaikan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai Tuhan pencipta alam semasta.

“1)Bacalah, atas nama tuhanmu yang telah menciptakan, 2)Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. 3)Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. 4)yang mengajar (manusia) dengan perantara pena (kalam). 5)Dia mengajari manusia apa yang belum diketahuinya”  

 Perjalanan peradaban islam pada generasi selanjutnya mulai berkembang mengunakan konsep-konsep seni sebagai penyebaran risalah keislaman yang menjadi wilayah kekuasaan Islam. Tokoh-tokoh kesenian banyak yang di konsepsikan oleh kelompok sufistik. Sufi merupakan Kaum muslim yang menjalankan aktivitas peribadatan yang lebih menekankan dengan keseimbangan jiwa. Atau dikenal oleh kalangan kaum muslimin dengan aliran ilmu tasawuf. Kaum sufi banyak mengunakan kekuatan ontologi. Pola tersebut Pengaruh pertemuan kebudayaan Yunani. Dan pada saat itu islam dihadapkan dengan penjelasan islam dengan mengunakan keselarasan akal dengan tanda. Kelompok sufi tersebut banyak menelurkan karya-karya kritik terhadap keilmuan para filosof Yunani. Tokoh-tokoh tersebut adalah al-farabi, ibnu sina, al-ghazali, ibn al-Rasyd dan masih banyak lagi.

 

Mereka berpendapat terhadap Pemahaman konsep seni Yunani, seni merupakan imitasi (memesis) yang dapat diciptakan oleh manusia (crasio). Menurut ibnu sina karya Seni, sebagai mana juga menurut al-farabi, pada hakikatnya bersifat imaginatif, rasail ilmiah mendasarkan pada objetifitas dan pembuktian logis. Penyalinan secara akliah yang dibuat imajinasi bersifat subjektif dan tidak memerlukan pembuktian logis. Bardasarkan pandangan al-farabi ini al-farabi dan al-Jurjani mengatakan :

“bahwa hubungan Objek-Objek  estetis dalam karya seni dengan realitas dapat dirumuskan sebagi berikut: 1). Tahsin (menghias, memberigaya atau stalasi). 2). Tahqih (Perusakan, deformasi) dan 3). Mutabaqah (pemberian Balance atau keseimbangan, yaitu keseimbangan dimensi jasmani dan dimensi rohaninya)” (Abdul Hadi W.M, 2004 : 252).

Penghayatan estetik bagi seorang muslim merupakan bagian dari kesadaran inteleknya. Dengan kata lain pengalaman estetik dapat mengugah dan menyegarkan jiwa seseorang, dan membawanya  unutk memasuki pada situasi makna, artinya seseorang dapat menghayati suatu makna baru dalam pelajaran hidupnya dan membuat hidupnya lebih bermakna. Seseorang dapat mengembangkan pengalaman estetiknya pada pengembangan pemikiran imajinatif yang sering sekali bergerak meloncat-loncat dan tidak liner, yang mendorong kreatifitasnya bekerja lebih cerdas unutk membuka kemungkinan baru dan membri jalan mencari terobosan baru (Musa Asy’arie, : 1999 13-136).

Seni bagi muslim merupakan bagian yang dijadikan bagian aktifitas dakwah dan untuk menjalin umat. Aktifitas seni dikonsepsikan agar tidak melakukan kembali hal-hal yang bertentangan dengan ajaran islam. Sehingga para ilmuan, ahli adab, ulama fiqih dan usuluddin, serta ahli tasawuf berpegang pada pendapat ini. Maka seni dapat berfungsi sebagai sarana efektif menyebarkan gagasan, pengetahuan , informasi  yang berguna bagi kehidupan seperti pengetahuan dan informasi berkenaan sejarah, geografi, hukum, undang-undang, adab, pemerintahan, politik, ekonomi dan gagasan keagamaan (Abdul Hadi W.M, 2004 : 237).

Seni bagi masyarakat muslim secara umum sebagai keahlian seseorang mengunakan instrument serta mengolah nada. Dalam pemahaman umat muslim tetang musik merupakan kesadaran pengunaan Khosiat ( ciri khas dan sifat) instrument / benda. Potensi bunyi sebagai sarana relaksasi  atau imajinasi, pelengkap suasana (perayaan maupun sebagai tanda). Sehingga konsep yang telah disusun secara sistematis tersebut disebarkan kedalam kebudayaan masyarakat Aceh.

Konsep seni yang di gunakan menjadi pembentuk kebudayaan masyarakat Aceh sebagai perubahan secara bertahap dalam berbagai aspek. Dalam pandangan Memet Chairul Slamet dalam seminar memaparkan makalahnya:

...Seni (art) sebagai bagian dari produk budaya selalu mengalami metaforfosa sesuai ekspresi dari penciptanya dan terkait erat dengan konteks kapan maupun dimana proses penciptaan seni tersebut berlangsung. Begitu juga dengan edukasi dan kedua hal tersebut saling berkesinambungan. Edukasi sarana transfer knowledge yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Sejarah mencatat serta membuat jejak periodik bagaimana manusia menemukan identitas diri melalui edukasi dengan tahapan observasi langsung dari alam (pre historic) sampai pada era digital saat ini.  Hasil karya seni pun diolah berdasar pada periodesasi perkembangan pengetahuan manusia dari jaman ke jaman. Jadi apa yang ada saat ini (sebagai produk budaya) jika dibuat sebuah penampang rentang waktu dapat dikatakan hasil jangkauan imajinasi pemikiran budaya masyarakat waktu lampau...[1]

            Perubahan kebudayaan dalam sebuah masyarakat van peursen mengkatagorikan dalam tiga fase yaitu 1. Magi : manusia menganggap dirinya dalam kekuatan-kekuatan  gaib berdasarkan mitos. 2. Ontologi : manusia terlepas pemahaman mistis, dan menyusun teori mengenai dasar hakikat. 3. Fungsionalis : manusia mengadakan relasi-relasi baru, sesuatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya.[2] Namun pada penelitian pada kesempatan ini ini penulis akan mencoba untuk mendeskripsikan permasalahan serune kale bekembang di tengah-tengah masyarakat, perkembangan tersebut manusia membangun relasi terhadap dalam lingkungannya. Baik dari segi sosial, konsep, prilaku, serta seni.

4. Konsep Syair Aceh

Aceh merupakan kota yang kosmopolit pada abad ke 17. Aceh telah menjadi kawasan majemuk dan terbuka. Keragaman etnis dan budaya mengharuskan pengelolaan negara harus memiliki kebijaksanaan  brilian dari penguasa Aceh. Dengan sikap keterbukaan, Aceh mengadopsi apa yang dianggap penting dan sesuai dengan kepercayaan dan tradisi mereka. kebijaksanaan tersebut adalah mengadopsi bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan, bukan bahasa Aceh (Amirul hadi 167). Disebutkan oleh Leonard Andaya sebagai “model masyarakt Melayu Aceh abad ke 17.” Dengan perubahan standarisasi ke-Melayu-an dengan mengunakan pondasi Islami, sehingga Aceh menjadi pewaris kebudayaan Melayu kerajaan Malaka, secara lebih Islami (Amirul hadi,  2010:167).

Aspek yang dominan dari unsur budaya tersebut terdapat pada dimensi sastra dan tradisi kerajaan (Amirul hadi, 2010:167). tradisi kerajaan mengunakan bahasa Melayu menjadi bahasa intelektual islam. Aceh ketika itu menjadi pusat kajian islam yang menghasilkan berbagai karya ke-islaman dalam bahasa Melayu. Kesuksesan pengunaan bahasa Melayu tersebut Aceh menjadikan alat penyebaran islam menyebar keseluruh nusantara sekaligus menjadikan bahasa melayu sebagai lingua franca.

Sastra Aceh dikalangan masyarakat masih mengunakan bahasa Aceh asli. Pendekatan sastra tersebut sebagai sarana penyebaran intelektualitas dan keagamaan. Sastra berasal dari kata sas (ajaran) dan tra (alat). Sastra adalah alat (wahana) untuk mengajarkan kearifan hidup. Sehingga sastra memiliki bahasa yang khas, mengkomunikasikan sebuah kebenaran (Amirul hadi, 2010:167). Sastra tersebut dikemas mengenai kisah para Nabi-nabi, cerita sosok raja yang adil atau yang keji, kisah muda mudi, hari kebangkitan, dituangkan dalam bentuk syair dan pantun-pantun. Syair tersebut terkadang di lagukan atau bahasa komunikasi sehari-hari. Kemampuan seorang syech (kali) adalah menyampaikan ajaran-ajaran hidup berasaskan ke-islaman dengan mengunakan bahasa yang santun, informatif,

5. Metode Penelitian Musik Rakyat

Metode yang yang paling dapat digunakan untuk mempelajari musik dalam kebudayaaan masyarakat ialah kerja lapangan.(Bruno Nettl, 2012:262) Penelitian disarankan menjadi tiga katagori: musik sebagai sesuatu yang dipahami melalui kebudayaan dan nilai-nilai budaya ; musik sebagai wahana untuk membantu mamahami kebudayaan dan nilai-nilai budaya; dan musik dalam hubungannya dengan fenomena komunikasi lain dalam kebudayaan, seperti tarian, bahasa, dan puisi. (Bruno Nettl, 2012:263) Merriam menyarankan mempelajari sebuah budaya musik, selain musik itu sendiri, yaitu: 1. Instrumen, 2. Lirik-lirik dalam lagu, 3. Tipologi dan klasifikasi musik lokal, 4. Peran dan status para musisi, 5. Fungsi musik dalam kaitannya dengan aspek kebudayaan lainnya, serta 6. Musik sebagai aktifitas kreatifitas (Bruno Nettl, 2012:9). Metode yang di tawarkan oleh Bruno Nettl, Teori dan Metodologi dalam Etnomusikologi dapat sebagai panduan dalam  penelitian kajian struktur komposisi musik Aceh di dalam masyarakat Aceh. Meskipun tidak semua metode digunakan, akan tetapi peneliti sangat terbantu dengan mengunakan beberapa metode yang terdapat di lapangan untuk dideskripsikan atau yang masih memiliki keterkaitan dengan metode dalam buku tersebut.

6. Budaya Masyarakat

Budaya adalah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, sastra, lukisan, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistimologis dari sistem pengetahuan masyarakatnya (Kuntowijoyo,2006:xi). Kuntowijoyo merumuskan seperti yang di ungkapkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman kajian kreativitas manusia memusatkan perhatian pada proses simbolis, yaitu pada kegiatan manusia dalam menciptakan makna yang merujuk pada realitas yang lain dari pada pengalaman sehari-hari. Dengan menyusun proses simbolis secara sosio-historis di masa lalu dan masa kini, maka kesimpulan yang diambil dari struktur sosial perjalanan budaya peneliti akan menemukan makna budaya Aceh sehingga pengintepretasian produk budaya Aceh ada kesesuaian dengan kaidah masyarakat Aceh.   

Kata Etnik /et·nik/ /étnik/  berdasarkan dari kamus besar indonesia antra bertalian dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya; etnis. Hal ini, tidak menyangkut ciri fisik atau ras saja. Etnik merupukan perwujudan budaya yang memiliki bentuk matrial serta non matrial. Sehingga, benda-benda yang tercipta merupakan sebagai dari simbol serta identitas suatu kelompok satu dengan lainnya.

 

7. Fungsi Musik Masyarakat

R.M Soedarsono terdiri dari diperlukan tempat pertunjukan terpilih, diperlukan pemilihan hari, diperlukan pemain yang terpilih, tujuan lebih dipentingkan daripada penampilannya secara estetis dan diperlukan busana yang khas[1] Iring-iringan intat linto baro atau musik rakyat sebagai seni pertunjukan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok seni fungsi primer dan kelompok seni sekunder.[2] Seni pertunjukan berfungsi primer adalah sarana ritual, sebagai sarana hiburan pribadi, sarana pesentasi estetis. Fungsi ritual berkembang dikalangan masyarakat yang tata kehidupanya mengacu pada nila-nilai budaya agraris, serta masyarakat yang memeluk agama dalam kegiatan-kegiatan ibadahnya sangat melibatkan seni pertunjukan.[3] Seni pertunjukan berfungsi sebagai sarana hiburan pribadi adalah penikmatnya juga harus berpartisipasi aktif di dalamnya, sehingga seni pertunjukan yang berfungsi sebagai hiburan juga bisa kita sebut sebagai art of participation.[4] Fungsi sebagai hiburan pribadi setiap penikmat memiliki gaya pribadi sendiri-sendiri, Tidak ada aturan yang ketat untuk tampil di atas pentas. Penikmat bisa mengikiti irama tari serta merespon, kenikmatan pribadi akan tercipta.[5] Fungsi presentasi estetis merupakan seni pertunjukan kolektif hingga penampilnya di atas panggung menuntut biaya yang tidak sedikit. [6]Umumnya seni pertunjukan yang berfungsi sebagai presentasi estetis panyandang dana produksinya (production cost) adala pembeli karcis. Sistem manajemen macam ini lazim disebut pendanaan yang ditanggung secara komersial. (commercial support).[7] Seni pertunjukan berfungsi sekunder salah satunya seni pariwisata, seni pariwisata adalah seni yang dikemas khusus buat wisatawan, yang memiliki tiruan-tiruan dari aslinya, dikemas padat atau singkat, dikesampingkan nilai-nilai primernya, penuh variasi, menarik, serta murah harganya.[8]

Penutup

Metode penelitian Musik aceh sampai saat ini masih terus dekembangkan. Menafsirkan musik aceh dengan menggunakan motede yang berkembang akan mengalami kesulittan serta miss interpretasi terhadap musik yang dimainkan oleh masyarakat aceh. Pemahaman dengan mengguanakan emic perpective harus selalu digunakan agar peneltian musik aceh bukan lagi dilihat sebagai komparatif, atau budaya tinggi atau budaya rendah. Musik bagi masyarakat aceh di sebut dengan lagu. Penggunaan tonal suatu musika dibuat dengan cara manual atau dimainakan sesuai laras lokal (terroir)[3], meskipun tidak menggunakan ansambel atau harmoni maka kejadian fenomena tersebut dikenal dengan musik.

Wallahua'lam Bishawab.

Penulis : Rudi Asman, S.Sn.

 

KEPUSTAKAAN

 

Asy’arie, Musa. 1999 Filsafat Islam, Yogyakarta:Lembaga Studi Filsafat Islam. 

Banoe, Pono. 2003. Kamus Musik.  Yogyakarta: Kanisius.

Darmawan, Hendro. 2013. Kamus Ilmiah Populer. Yogyakarta: Bintang Cemerlang.

Hadi, Amirul, 2010. Aceh Sejarah Budaya dan Tradisi.  Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,.

Hood, Made Mantle. 2014. “Menuju Penerapan Musical Terroir Konteks Melemahnya Laras Lokal”, dalam, St. Hanggar budi Prasetyo dan Agnes Widyasmoro,ed., prosiding seminar Nasional Festifal Kesenian Indonesia Ke 8 “Spirit of The Future: Art for Humanizing” Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.

Isjkarim. 1981.  “Kesenian Tradisional Aceh”. hasil lokakarya 4/8 januari di Banda Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

K Haiti, Phlilip. 2014, History Of The Arabs, terj.R. Cecep Lukaman Yasin dan Dedi Slaemet Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 

Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat : Edisi Paripurna. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Liliweri, Alo. 2014. Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Nusa Media.

Memet chairul slamet. 2015. “ketakturhubungan dalam keterhubungan “, makalah disajikan dalam rangka seminar Etnomusiklopedia jurusan Etnomusikologi- ISI Yogyakarta.

Nakagawa, Shin. 2011 Musik dan Kosmos, Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Nettl, Bruno. 2012. Teori dan Metodologi dalam Etnomusikologi., terj. Nathalian H.P.D Putra. Jayapura: Jayapura Center Of Music.

Peursen C. A, Van. 1988. Strategi kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius.

Prier S.J, Karl Edmund. 2006. Sejarah Musik Jilid I.  Yogyakarta: Pusat musik Liturgi.

Raji Al-Faruqi, Ismail. 1999. Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, terj. Hartono Hadi Kusumo Yogyakarta: Bentang Budaya.

Reid, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatra  Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 

Soedarsono, R.M. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era globalisasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Sugiyono, Metodologi Penelitian R&D Kualitatif dan Kuantitatif. (Bandung: Alfabeta, 2012).

 

 



[1]Memet chairul slamet, “ketakturhubungan dalam keterhubungan “, makalah disajikan dalam rangka seminar Etnomusiklopedia jurusan Etnomusikologi- ISI Yogyakarta, 06 Desember 2015, 1-2.

[2]Peursen, Van C. A., Strategi kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius 1988).

[3]Made Mantle Hood, “Menuju Penerapan Musical Terroir Konteks Melemahnya Laras Lokal”, dalam,St. Hanggar Budi Prasetyo dan Agnes Widyasmoro,ed., Prosiding Seminar Nasional Festifal Kesenian Indonesia Ke 8 “Spirit of The Future: Art for Humanizing” (Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2014), 202.

Kamis, 22 Oktober 2020

Seniman Aceh ?

 


Kata “seni” merupakan yang berasal dari bahasa Melayu. Kata itu punya arti “halus”, “kecil”, “tipis “lembut”. Pengunaan dalam bahasa Melayu menyebutkan “air seni”, maka artinya air kencing. sebab hajat “ungkapan seni” berati buang air kecil alias kencing terkadang masih lazim digunakan pada bidang kedokteran. Kata “seni” yang kita pakai sekarang ini sebagai terjemahan dari “art” (Inggris) baru muncul pada tanggal 10 april 1935 dalam majalah kebudayaan Pujangga baru yang terbit pada tahun1933.[1]

kata “seni” berasal dari konsep barat dalam sejarah kebudayaan barat sendiri pengertian “seni” itu berubah-ubah sesuai dengan zamannya. Pengertian zaman Yunani berbeda dengan pengertian seni dalam abad pertengahan. Berbeda pula dengan zaman awal moderen barat. Yakni ranaissance, berbeda dengan zaman rasionalisme abad 17-18 ,dan berbeda dengan zaman romantik abad IXX. Di abad IXX, kebudayaan barat mengevaluasi kembali semua pengertian seni dalam sejarahnya.[2] Masyarakat Indonesia modern mengadopsi pengertian “seni” dari barat. karena pemahaman tentang “seni”  di barat sendiri juga mengalami perkembangan dalam sejarahnya, maka masyarakat modern Indonesia  tidak mempunyai keseragaman dalam pemahaman seni baratnya. Era jaman pujangga baru tahun 1930an misalnya, konsep seni sastra modern mengacu kepada romantisme, tapi dalam seni lukis sudah mengacu kepada ekspresionis, dan dalam teather masih berkutat pada “realisme dardanella”. seni arsitektur art deco.

Seni bagian intelektual manusia yang di tuangkan ke dalam suatu bentuk. Sebagai manusia yang memuliki intelektual tentu kita punya etika intelektual pula. Seni yang memiliki intlektual Untuk berbeda adalah salah satu etika kita. menghormati dan menghargai yang berbeda dengan kita adalah etika. Kita tidak pernah semena-mena terhadap yang berbeda dengan cara kita. Perbedaan itu kebebasan. Kalau ingin dihargai kebebasan kita, maka kita harus menghargai kebebasan orang lain. Karya seni masa lampau yang berbeda dengan kesenian kita itu selayaknya mendapatkan penghargaan pula. Maka, di dalam seni mengaktualisasikan sesuatu yang berbeda memiliki hak prerogratif seseorang. Tinggal kita melihat etika tersebut sesuai dengan norma yang berlaku, terkhusus dalam peradaaban islam etika serta ketauhidan sangat menjadi perhatian utama.

Bagaimana cara menghargainya. Sikap untuk memahami hubungan antara teks seni itu dengan konteksnya sendiri. Kita kembalikan benda-benda seni pada cara berfikir masyarakat yang dahulu memproduksinya. Karena setiap benda budaya, termasuk artefak seni, diproduksi masyarkatnya, karena punya fungsi dalam kehidupan mereka. Fungsi seni bagi mereka mungkin sama sekali berbeda dengan seni buat kehidupan kita di masa sekarang. Dengan demikian, pertama-tama kita harus mengetahui apa fungsi benda yang kita sebut “seni” bagi masyarkat-masyarakat di masa lampau.

Fungsi seni itu masih kita dapatkan hidup di tengah-tengah kita sekarang ini, karena masyarkat pendukungnya masih ada. Apa yang kita sebut sebagai “seni tradisional” itu masih di fungsikan sebagai dari bagian upacara “selawatan”. Dapat dipahami juga seni itu merupakan acara itu sendiri. Karena fungsinya bagian dari adat, maka simbol-simbol seni yang ada di dalanya tentu berhubungan dengan sistem religi kepercayaan mereka. Langkah lebih lanjut adalah memahami sitem religi mereka itu. Dari mana kita dapatkan. masyarakat yang masih memfungsikanya, atau dari artefak seni itu sendiri dengan cara membandingkanya dengan artefak yang lain dari konteks budaya zaman yang lain

benda seni Memang tidak semuanya berfungsi relegius. Banyak benda-benda seni untuk kepentingan sekuler pula. Yang membedakan hanya proses pembuatannya saja. Benda-benda seni yang dipergunakan untuk upacara ternyata mempunyai proses pembuatan yang sifatnya juga ritual. Sedang benda-banda yang sama untuk kepentingan sekuler tidak diproses dengan upacara. Karena bentuknya sama, maka kita dapat membaca simbol-simbol religi pada seni upacara, maupun seni sekulernya. Pemikiran religius ini disusun dari mitos-mitos, penciptaan semesta mereka, bangunan rumah mereka, ragam hias tenun mereka, upacara-upacara adat, susunan perkampungan mereka, hukum adat mereka, perahu, alam tinggal mereka, iklim dan kesenian mereka, baik seni rupa, seni musik ,teather dan sastra. Semakin banyak artefak yang dapat dikumpulkan, semakin lengkaplah kemungkinan rekontruksi bangunan ideal-rasional mereka tentang makna hidup ini.

Jacob sumardjo  menggambarkan Masyarkat pengguna benda-benda seni teradisional itu jauh berubah cara berpikinya dengan benda-benda seni yang mereka warisi dari nenek moyangnya. Benar, mereka masih memfungsikan benda-benda itu secara tradisional. Tetapi, sistem pengetahuan tradisionalnya telah lama hilang bersama waktu. masyarakat moderen Indonesia memang berbeda sekali dengan nenek moyang kita yang pra-modern. Pola berpikir yang digunaka secara ontologis, selalu membuat jarak dengan objek pengetahuan kita. Pengetahuan bagi kita adalah pengetahuan yang dapat dibuktikan dengan secara empiris dan secara rasional-logis. Sedangkan epistimologi indonesia pra-modern tidak membedakan adanya dualisme objek-subjek. Manusia bukan bagian terpisah dan dalam posisi menghadapi apa saja yang berada diluar dirinya disebut subjek. Fikiran pra-modern adalah pemikiran totalistas-holistis yang menyamakan subjek dengan objeknya. Manusia itu hanya bagian saja dari alam dan semua yang ada. Mikro kosmos manusia itu adalah makro kosmos semesta dan bagian puladari sebuah meta kosmos. Inilah cara berfikir monistik. Segalanya adalah tunggal

Pengetahuan tertinggi manusia Indonesia pra-moderen itu pengetahuan memiliki penyatuan dengan totalitas. Maka, dengan sendirinya ini bersifat sangat subjektif berdasarkan keyakinan,iman itu mendahuli pengatahuan. Siapa mengimani akan mengalami, dan yang mengalami akan mengetahui. Itulah sebabnya laku mendahului ilmu, atau ilmu ini terjadi lewat laku atau perbuatan, dan pengalaman, yang dimaksudkan adalah pengalaman mistis, penyatuan dengan hakikat ada. Sedangkan kita manusia modern pertama-tama menjawab partanyaan “apa”, “objek pengetahuan” harus dapat dicerna oleh akal dulu. Baru dapat melanjutkan “bagaimana”-nya “apa” itu, dan akhirnya mencari pengetahuan tentang “mengapa”nya “apa” tadi. Dalam pikiran primodial Indonesia, pengetahuan serupa ini hanya tingkat dua setelah epistemilogi. Intelektual sejati masyarakat pra-modern Indonesia adalah orang-orang yang telah mencapai pengalaman dan pengetahuan ide secara imajinasi. Ulama, syech, empu, pujanggga, utoh, adalah pemilik pengetahuan sejati, jadi puncak intelektualitas telah melekat pada mereka.

Benda-benda seni tradisional itu mengandung aspek-aspek ideal-irasionalnya pula yang berupa pola, dan struktur. Pola semacam ini pula muncul dalam karya seniman Amerika, Paul Klee, yang pada tahun 1924 mengumumkan gambar pohon yang mengambarkan transformasi pencipataan, berangkat dari nature menuju culture , yang bisa terjadi di bidang apa saja, termasuk seni ukir rumah Aceh, rencong, atau kupiah meuketop yang juga merupakan struktur transformasi secar religius, yakni bagaimana seorang manusia dapat mentranformasi diri menuju tingkat-tingkat rohani monistik atas.

            Kata seniman yang dipahami pada era moderen merupakan orang yang memiliki karya, beserta orang yang dibutuhkan dan juga dianggap orang marjinal di dalam masyarakat. pandangan masyarakat dengan seorang seniman yang memiliki gaya nyeleneh, rambu gondrong, hingga kata-kata yang tidak dimengerti, melekat pada masyarakat Aceh. Profesi seniman memiliki nilai tawar yang sangat rendah dalam kedudukan masyarakat Aceh. Adanya seperti pengasingan diri terhadap antara seniman dan masyarakat aceh, akan tetapi seniman orang yang diperlukan sebagai bagian dari menghibur kepenatan atau kegundahan mereka pada kesehariannya. Perhatian posisi seniman juga tidak menjadi bagian yang diberdayakan oleh pihak pemerintah sebagai upaya peningkatan mutu pariwisata Aceh serta pengetahuan.

            Edukasi seni di dalam masyarakat Aceh memiliki fase yang sangat lambat dan terabaikan. Seperti yang telah dijadikan tolak ukur pada era glaobalisasi ini seni merupakan bagian suatu pradaban intelektual. Sehingga beberapa seniman mencoba untuk mengikuti common sense (logika) industrial atau mengcover musik-musik yang di luar dari etika ke-Acehan. Seni yang berkembang di Aceh pada era ini telah memasuki sikap profan tidak ada keterkaitan dengan spiritualitas. Hal ini, sangat menghawatirkan pada generasi Aceh kedepannya.

            Seniman merupakan kepribadian yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Karena, seni itu berasal dari kata halus atau kecil, maka setiap orang yang telah yang telah melakukan aktifitas tersebut telah di sebut dengan seniman. Namun ada beberapa ketentuan yang perlu di sepakati tinggkatan sebagai seorang seniman murni atau terinfluens dalam dunia seni. Terlalu sangat merugikan untuk mengasingkan seniman di dalam masyarakat. karena apabila seni tidak melekat pada seseorang maka akan terjadi ketidak seimbangan antara sikap dan prilaku. Kekakuan serta kekerasan dalam menjalani hidup. Sudah saatnya seni melekat pada masyarakat Aceh agar para seniman dapat tumbuh subur di aceh dan membumikan seniman. Seniman bukanlah orang yang sangat suci yang memiliki gelar yang sangat berat ataupun orang yang sanga terasing, melainkan seniaman orang yang dapat menuangkan imajinasi denga intelektualnya ke dalam suatu karya. Selain dari itu juga dapat memperindah khasanah perkembangan pembangunan Aceh kedepanya. Namun, tidak luput dari nilai-nilai Islami serta memberikan inspirasi yang membangun. Seniman tanpa masyarakat tak berharga namun masyarkat tanpa seniman akan tersa hambar.

 Wallahu'alam Bissawab.

Penulis: Rudi Asman, S.Sn.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ismail Raji Al Faruqi, Seni tauhid Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, Yogyakarta: Bentang Budaya.

Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat : Edisi Paripurna. Yogyakarta: Tiara Wacana

Sumardjo, Jacob. 2006. Estetika Paradoks. Bandung : Sunan Ambu Press

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] lihat karangan Paul Oskar Kristeller, “the modern system of the art” dalam buku W.E. kennick, art and philosophi: reading in Aetethics (New York St. Martin’s Press, 1979). Ia menunjukan parkembangan apa yang disebut seni dalam masyarakat barat, mulai dari yaunani konosampai pda abad 20. Ada garis tetap yang di pertahankan

[2] pada tahun 1936, sultan takdir Alisjahbana, dalam majalahnya pujangga baru menulis sajak berjudul “sesudah dibajak”, yang bait pertamanya berbunyi sebagai berikut.

Aku merasa bajakMu menyayat

Sedih seni mengiris kalbu

Pedih pilu jiwa mengaduh

Gemetar mengigil tulang seluruh

 .

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 




Kumpulan Metode Penelitian untuk Musik Aceh

  Klasifikasi merupakan mengenal ciri khas atau pembagian kelompok permasalahan   dari suatu objek sehingga kita akan menjadikan objek ter...

popular post