Klasifikasi
merupakan mengenal ciri khas atau pembagian kelompok permasalahan dari suatu objek sehingga kita akan menjadikan
objek tersebut menjadi fokus bahan penelitian. Dalam metoda pengklasifikasian
harus di lihat dari teks dan kontekstual dari objek yang di teliti agar dapat
menemukan benang merah dalam menjelaskaan suatu fenomena musik dalam masyarkat
tertentu.
Proses Pembuatan Instrumen Musik Aceh |
1.
Pengertian
Musik
Musik
dalam secara pandangan umum memiliki struktur yang terdiri dari Bentuk
,Komposisi ,pola . Bentuk musik adalah
kumpulan dari bagian-bagian. Bentuk musik di bagi dalam kalimat tanya (padang istilah
jawa , Antisiden istilah barat ) dan kalimat jawab (Ulian istilah jawa ,
konsikuen istilah barat ). kalimat tanya memiliki bagian yang di sebut dengan
motif (suku kata yang telah memiliki arti cth: Solo ) dan ujud (belum berbentuk
kata atau belum menjadi sebuah suku kata cth: so).
Komposisi
adalah susunan yang ada fungsi (arti),di dalam komposisi yang lazim digunakan
dalam musik barat seperti intro, lagu, interlute, dan closing. Pola merupakan
isi permainan / motif pokok (pola instrumen/ pola garap). Menurut pandangan
dari Mantle Hood musik dapat di klasifikasikan dengan Melodik, Ritmik, dan
kolotomis. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan dalam melakukan
aktifitas memukul kentungan pada malam hari akan dapat dinyatakan sebuah musik
apabila telah terjadinya kesepakatan bagi masyarakat tersebut dalam
mendengarkan aktifitas tersebut.
Ritme
adalah deguban yang diberi durasi panjang pendek nya deguban tersebut seperti
deguban jantung (berulang-ulang atau teratur). Jenis-jenis Ritme menurt
Alizabet hayes dalam buku Dance Compotition and production menyebutkan terdiri
dari : 1. Metris : jenis hitungan yang jatuh pada hitungan berat (on beat).
Pada irama ritme ini membuat kesan pada lagu menjadi gagah ,kuat atau tegas. 2.
Singkup :jenis hitungan yang jatuh pada hitunggan atas (Up beat) pada ritme ini
membuat kesan pada lagu menjadi riang atau
gembira. 3. Ritme Ritmis :jenis hitungan yang yang tidak teratur berdiri
sendiri namun menjadi satu kesatuan dalam lagu (cth: sinden, kidung). 5. Resultan
: dua pola ritme yang bergabung menjadi satu (imbal / grimpeng dll). Repshodik
: hitungan bebas tapi tersusun mengakibatkan suasana lagu yang tercipata
seperti bentrok. Poliphoni : pengabungan beberapa/banyak pola ritme yang berbeda menjadi satu
keasatuan ritme.(seperti gamelan bali/jawa) Nama lain dari pholiphoni adalah
Kontrapung atau briuk sepangul dalam sebutan Bali. pola ritmis Ada juga yang
sering di gunakan juga seperti Uni sound seperti yang dimainkan pada kepyar
(Bali) atau rampak (nusantara). Melodi merupakan rangkaian nada yang ditandai
adanya picth (tinggi rendah nada) yang di membentuk kalimat lagu tanya-jawab
(indonesia), padang-ulian (jawa), pesu{pergi}-muleh{pulang} (Bali),
anticident-contikuen (barat).
Bunyi
adalah nada yang telah diatur sedemikian rupa, apabila hal tersebut tidak
dlakukan maka tidak akan menjadi bunyi melainkan disebut dengan Desah. Musik
dalam pandangan masyarakat barat memiliki elemen yang terdiri dari ritme, melodi,
harmoni. Menurut locknert menambahkan beberapa elemen musik yang terdiri dari :
Dinamika, Waktu nada, Bentuk, Tempo. Berbeda dengan masyarakat Aceh musik
memiliki padanan kata dengan lagu. Meskipun didalam strukturnya tidak memiliki
harmoni, timbre dan melodi, akan tetapi dengan memainkan melodi serta ritme
telah disebut dengan musik (lagu).
2.
Estetika seni
Seni
adalah penampilan (representation)
dan bukan kenyataan (reality), maka
seniman dapat mengatasi banyak hal. Objek seni itu terdiri dari unsur seni itu
sendiri secara murni, maka seniman dapat menampilkan karyanya melalui
unsur-unsur tersebut. Objek yang ditampilkan itu berasal dari fase-fase
kehidupan manusia, alam pikiran, ajaran tertentu, kepercayaan tertentu dan
dunia estetika itu sendiri. Ini semua disebut tema (Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Perwira, 2004 : 24-25).
Tema
ialah inti (pokok) masalah dalam hidup manusia, baik keduniawian maupun
kerohanian, yang mengilhami seniman untuk menjadikan subjek yang artistik dalam
karyanya. Tema secara universal terbagi 5 macam (Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Perwira, 2004 : 25-26).
a. Tema yang menyenangkan
Tema
ini paling mudah dan disenangi oleh seniman dan mudah dihayati publiknya.
Seniman menampilkan dengan menunjukkan pada objek yang dapat kita sebut indah
dan menyenangkan. Tema yang menyenangkan terdiri dari.1. Tema berbesar hati
(optimistis), yaitu merayakan dan mengungkapkan keriangan. 2. Tema bercinta
luhur (idealistis), yaitu mengemukakan cita yang bukan benda, atau menampilkan
citra tertentu dalam pikiran tentang suatu benda. 3. Tema yang menimbulkan rasa
enak atau ambisius, yaitu yang semata-mata menyenangkan tanpa tedensi yang
berat (Dharsono Sony Kartika dan
Nanang Ganda Perwira, 2004 : 25-26).
b. Tema yang tidak
menyenangkan
tema yang tidak
menyenangkan terdiri dari : 1. Tema yang tidak menyenangkan (tragis) yaitu,
tragedi mengandung perjuangan titik akhir pada ujung penderitaan, yang mungkin
kematian atau kejatuhan. 2. Tema yang menyedihkan (pathetis) yaitu, kehancuran
dan nasib buruk ini tidak dikompensasikan dengan pertentangan atau perjuangan (Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda
Perwira, 2004 : 27).
b. Tema lucu
Tema
ini dapat meragukan situasi. Tema yang menyenangkan atau tidak menyenangkan.
Tokoh yang tidak disenangi dapat ditinjau dari segi kelucuan. Bahan pada
dasarnya atau mula-mula menegangkan atau menimbulkan ingatan yang tidak
menyenangkan, berubah menjadi lebih ringan dan mengundang senyum pahit (Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda
Perwira, 2004 : 27).
c. Tema renungan
Tema ini berisi tentang : 1.
Keanehan dari fantasi seniman. 2. Nasehat atau khotbah (Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Perwira, 2004 : 28).
d. Tema ungkapan estetis
Tema
ini membina seni menjadi lebih murni, karna seniman memanipulasi berbagai
kemungkinan dari unsur, aransemennya atau komposisinya (Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Perwira, 2004 : 30).
3.
Konsep Seni Islam
Peradaban
seni bagi kaum muslim pada awalnya adalah masi merupakan kegiatan yang belum
menjadi sasaran utama bagi peradaban umat islam. Seni pada masa arab kuno masih bersifat keahlian
seseorang yang mampu mengungkapkan segala sesuatu dengan kata-kata indah dan
berbau mistik atau lebih dikenal dengan syair. Dijelaskan oleh Philip k haiti :
“Puisi-puisi terdahulu ini terus dilestarikan dalam ingatan,
ditransmisikan melalui tradisi lisan dan akhirnya di catat dalam bentuk tulisan
pada abad kedua dan ketiga hijriah...prosa bersajak yang digunakan oleh para
dukun dan peramal (kuhhan) dipandang
sebagai tahap awal perkembangan bentuk puitis. Nyanyian para penunggang unta (Huda) adalah tahap perkembangan kedua.
Tradisi bahasa arab asli yang berisaha menjelaskan asal-usul perkembangan puisi
pada kebiasaan para penunggang kuda yang bernyanyi mengikuti gerak ritmis
langkah untunya, tampak mengandung kebenaran. Kata hadi, penyanyi, adalah
sinonim dari kata sa’iq, penunggang
unta.
Gaya puisi rajaz,
yang terdiri atas empat atau enam baris sajak, merupakan perkembangan lebih
lanjut dari prosa sajak dan mengantikan bentuk sajak yang paling tua dan paling
sederhana. “rajaz adalah embrio
puisi,” demikian ujar orang-orang arab, “dengan prosa bersajak [saj] sebagai ayahnya dan lagu sebagai
ibunya.”
Al
Qur’an selama masa kenabian Muhammad SAW
merupakan kalimat wahyu yang memiliki padanan kata diatas rata-rata pemahaman
manusia pada masa tersebut. Baik dari segi perkataanya yang mengandung
tanda-tanda yang mengagumkan, dan irama kalimat yang memiliki bunyi yang sangat
mudah, Sehingga tidak jarang pada masa tersebut banyak para penyair untuk
menantang nabi Muhammad SAW bahwa isi kalimat Al Qur’an dapat di tandingi
dengan mengunakan syair manusia biasa. Namun Al Qur’an merupakan petunjuk bagi
manusia dan memperbaiki ahlak manusia. Dimana pada masa Arab kuno masih yang
banyak tidak mengetahui akan tujuan hidup dan siapa yang menciptakan alam
semesta. Sulah al alaq 96 1-5: merupakan sebagai seurah pertama yang turun
sekaligus sebagai tanda bukti kenabian Muhammad ditugaskan untuk mengemban
menyampaikan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai Tuhan
pencipta alam semasta.
“1)Bacalah,
atas nama tuhanmu yang telah menciptakan, 2)Dia menciptakan manusia dari
segumpal darah. 3)Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. 4)yang mengajar
(manusia) dengan perantara pena (kalam). 5)Dia mengajari manusia apa yang belum
diketahuinya”
Perjalanan peradaban islam pada generasi
selanjutnya mulai berkembang mengunakan konsep-konsep seni sebagai penyebaran
risalah keislaman yang menjadi wilayah kekuasaan Islam. Tokoh-tokoh kesenian
banyak yang di konsepsikan oleh kelompok sufistik. Sufi merupakan Kaum muslim
yang menjalankan aktivitas peribadatan yang lebih menekankan dengan
keseimbangan jiwa. Atau dikenal oleh kalangan kaum muslimin dengan aliran ilmu
tasawuf. Kaum sufi banyak mengunakan kekuatan ontologi. Pola tersebut Pengaruh
pertemuan kebudayaan Yunani. Dan pada saat itu islam dihadapkan dengan
penjelasan islam dengan mengunakan keselarasan akal dengan tanda. Kelompok sufi
tersebut banyak menelurkan karya-karya kritik terhadap keilmuan para filosof
Yunani. Tokoh-tokoh tersebut adalah al-farabi, ibnu sina, al-ghazali, ibn
al-Rasyd dan masih banyak lagi.
Mereka
berpendapat terhadap Pemahaman konsep seni Yunani,
seni merupakan imitasi (memesis) yang
dapat diciptakan oleh manusia (crasio).
Menurut ibnu sina karya Seni, sebagai mana juga menurut al-farabi, pada
hakikatnya bersifat imaginatif, rasail ilmiah mendasarkan pada objetifitas dan
pembuktian logis. Penyalinan secara akliah yang dibuat imajinasi bersifat
subjektif dan tidak memerlukan pembuktian logis. Bardasarkan pandangan
al-farabi ini al-farabi dan al-Jurjani mengatakan :
“bahwa
hubungan Objek-Objek estetis dalam karya
seni dengan realitas dapat dirumuskan sebagi berikut: 1). Tahsin (menghias,
memberigaya atau stalasi). 2). Tahqih (Perusakan, deformasi) dan 3). Mutabaqah
(pemberian Balance atau keseimbangan, yaitu keseimbangan dimensi jasmani dan
dimensi rohaninya)” (Abdul Hadi W.M, 2004 : 252).
Penghayatan
estetik bagi seorang muslim merupakan bagian dari kesadaran inteleknya. Dengan
kata lain pengalaman estetik dapat mengugah dan menyegarkan jiwa seseorang, dan
membawanya unutk memasuki pada situasi
makna, artinya seseorang dapat menghayati suatu makna baru dalam pelajaran
hidupnya dan membuat hidupnya lebih bermakna. Seseorang dapat mengembangkan
pengalaman estetiknya pada pengembangan pemikiran imajinatif yang sering sekali
bergerak meloncat-loncat dan tidak liner, yang mendorong kreatifitasnya bekerja
lebih cerdas unutk membuka kemungkinan baru dan membri jalan mencari terobosan
baru (Musa Asy’arie, : 1999 13-136).
Seni
bagi muslim merupakan bagian yang dijadikan bagian aktifitas dakwah dan untuk
menjalin umat. Aktifitas seni dikonsepsikan agar tidak melakukan kembali
hal-hal yang bertentangan dengan ajaran islam. Sehingga para ilmuan, ahli adab,
ulama fiqih dan usuluddin, serta ahli tasawuf berpegang pada pendapat ini. Maka
seni dapat berfungsi sebagai sarana efektif menyebarkan gagasan, pengetahuan ,
informasi yang berguna bagi kehidupan
seperti pengetahuan dan informasi berkenaan sejarah, geografi, hukum,
undang-undang, adab, pemerintahan, politik, ekonomi dan gagasan keagamaan (Abdul
Hadi W.M, 2004 : 237).
Seni
bagi masyarakat muslim secara umum sebagai keahlian seseorang mengunakan
instrument serta mengolah nada. Dalam pemahaman umat muslim tetang musik
merupakan kesadaran pengunaan Khosiat ( ciri khas dan sifat) instrument /
benda. Potensi bunyi sebagai sarana relaksasi
atau imajinasi, pelengkap suasana (perayaan maupun sebagai tanda).
Sehingga konsep yang telah disusun secara sistematis tersebut disebarkan
kedalam kebudayaan masyarakat Aceh.
Konsep
seni yang di gunakan menjadi pembentuk kebudayaan masyarakat Aceh sebagai
perubahan secara bertahap dalam berbagai aspek. Dalam pandangan Memet Chairul
Slamet dalam seminar memaparkan makalahnya:
...Seni
(art) sebagai bagian dari produk budaya selalu mengalami metaforfosa sesuai
ekspresi dari penciptanya dan terkait erat dengan konteks kapan maupun dimana
proses penciptaan seni tersebut berlangsung. Begitu juga dengan edukasi dan
kedua hal tersebut saling berkesinambungan. Edukasi sarana transfer knowledge
yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Sejarah
mencatat serta membuat jejak periodik bagaimana manusia menemukan identitas
diri melalui edukasi dengan tahapan observasi langsung dari alam (pre historic)
sampai pada era digital saat ini. Hasil
karya seni pun diolah berdasar pada periodesasi perkembangan pengetahuan
manusia dari jaman ke jaman. Jadi apa yang ada saat ini (sebagai produk budaya)
jika dibuat sebuah penampang rentang waktu dapat dikatakan hasil jangkauan
imajinasi pemikiran budaya masyarakat waktu lampau...[1]
Perubahan kebudayaan dalam sebuah
masyarakat van peursen mengkatagorikan dalam tiga fase
yaitu 1. Magi : manusia menganggap dirinya dalam kekuatan-kekuatan gaib berdasarkan mitos. 2. Ontologi : manusia
terlepas pemahaman mistis, dan menyusun teori mengenai dasar hakikat. 3.
Fungsionalis : manusia mengadakan relasi-relasi baru, sesuatu kebertautan yang
baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya.[2]
Namun pada penelitian pada kesempatan ini ini penulis akan mencoba untuk
mendeskripsikan permasalahan serune kale
bekembang di tengah-tengah masyarakat, perkembangan tersebut manusia membangun
relasi terhadap dalam lingkungannya. Baik dari segi sosial, konsep, prilaku,
serta seni.
4.
Konsep Syair Aceh
Aceh
merupakan kota yang kosmopolit pada abad ke 17. Aceh telah menjadi kawasan
majemuk dan terbuka. Keragaman etnis dan budaya mengharuskan pengelolaan negara
harus memiliki kebijaksanaan brilian
dari penguasa Aceh. Dengan sikap keterbukaan, Aceh mengadopsi apa yang dianggap
penting dan sesuai dengan kepercayaan dan tradisi mereka. kebijaksanaan
tersebut adalah mengadopsi bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan, bukan
bahasa Aceh (Amirul hadi 167).
Disebutkan oleh Leonard Andaya sebagai “model masyarakt Melayu Aceh abad ke
17.” Dengan perubahan standarisasi ke-Melayu-an dengan mengunakan pondasi
Islami, sehingga Aceh menjadi pewaris kebudayaan Melayu kerajaan Malaka, secara
lebih Islami (Amirul hadi, 2010:167).
Aspek
yang dominan dari unsur budaya tersebut terdapat pada dimensi sastra dan
tradisi kerajaan (Amirul hadi, 2010:167). tradisi kerajaan mengunakan bahasa Melayu
menjadi bahasa intelektual islam. Aceh ketika itu menjadi pusat kajian islam
yang menghasilkan berbagai karya ke-islaman dalam bahasa Melayu. Kesuksesan
pengunaan bahasa Melayu tersebut Aceh menjadikan alat penyebaran islam menyebar
keseluruh nusantara sekaligus menjadikan bahasa melayu sebagai lingua franca.
Sastra
Aceh dikalangan masyarakat masih mengunakan bahasa Aceh asli. Pendekatan sastra
tersebut sebagai sarana penyebaran intelektualitas dan keagamaan. Sastra
berasal dari kata sas (ajaran) dan tra (alat). Sastra adalah alat (wahana)
untuk mengajarkan kearifan hidup. Sehingga sastra memiliki bahasa yang khas,
mengkomunikasikan sebuah kebenaran (Amirul hadi, 2010:167). Sastra tersebut
dikemas mengenai kisah para Nabi-nabi, cerita sosok raja yang adil atau yang
keji, kisah muda mudi, hari kebangkitan, dituangkan dalam bentuk syair dan
pantun-pantun. Syair tersebut terkadang di lagukan atau bahasa komunikasi
sehari-hari. Kemampuan seorang syech
(kali) adalah menyampaikan
ajaran-ajaran hidup berasaskan ke-islaman dengan mengunakan bahasa yang santun,
informatif,
5.
Metode Penelitian Musik Rakyat
Metode
yang yang paling dapat digunakan untuk mempelajari musik dalam kebudayaaan
masyarakat ialah kerja lapangan.(Bruno Nettl, 2012:262) Penelitian disarankan
menjadi tiga katagori: musik sebagai sesuatu yang dipahami melalui kebudayaan
dan nilai-nilai budaya ; musik sebagai wahana untuk membantu mamahami
kebudayaan dan nilai-nilai budaya; dan musik dalam hubungannya dengan fenomena
komunikasi lain dalam kebudayaan, seperti tarian, bahasa, dan puisi. (Bruno
Nettl, 2012:263) Merriam menyarankan mempelajari sebuah budaya musik, selain
musik itu sendiri, yaitu: 1. Instrumen, 2. Lirik-lirik dalam lagu, 3. Tipologi
dan klasifikasi musik lokal, 4. Peran dan status para musisi, 5. Fungsi musik
dalam kaitannya dengan aspek kebudayaan lainnya, serta 6. Musik sebagai
aktifitas kreatifitas (Bruno Nettl, 2012:9). Metode yang di tawarkan oleh Bruno
Nettl, Teori dan Metodologi dalam Etnomusikologi dapat sebagai panduan
dalam penelitian kajian struktur
komposisi musik Aceh di dalam masyarakat
Aceh. Meskipun tidak semua metode digunakan, akan tetapi peneliti sangat
terbantu dengan mengunakan beberapa metode yang terdapat di lapangan untuk dideskripsikan
atau yang masih memiliki keterkaitan dengan metode dalam buku tersebut.
6. Budaya Masyarakat
Budaya
adalah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa
kata, benda, sastra, lukisan, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan
konsep-konsep epistimologis dari sistem pengetahuan masyarakatnya (Kuntowijoyo,2006:xi).
Kuntowijoyo merumuskan seperti yang di ungkapkan oleh Peter L. Berger dan
Thomas Luckman kajian kreativitas manusia memusatkan perhatian pada proses
simbolis, yaitu pada kegiatan manusia dalam menciptakan makna yang merujuk pada
realitas yang lain dari pada pengalaman sehari-hari. Dengan menyusun proses
simbolis secara sosio-historis di masa lalu dan masa kini, maka kesimpulan yang
diambil dari struktur sosial perjalanan budaya peneliti akan menemukan makna
budaya Aceh sehingga pengintepretasian produk budaya Aceh ada kesesuaian dengan
kaidah masyarakat Aceh.
Kata Etnik /et·nik/ /étnik/ berdasarkan dari
kamus besar indonesia antra bertalian dengan kelompok sosial
dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu
karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya; etnis. Hal ini, tidak
menyangkut ciri fisik atau ras saja. Etnik merupukan perwujudan budaya yang
memiliki bentuk matrial serta non matrial. Sehingga, benda-benda yang tercipta
merupakan sebagai dari simbol serta identitas suatu kelompok satu dengan
lainnya.
7. Fungsi Musik Masyarakat
R.M Soedarsono terdiri dari diperlukan tempat pertunjukan
terpilih, diperlukan pemilihan hari, diperlukan pemain yang terpilih, tujuan
lebih dipentingkan daripada penampilannya secara estetis dan diperlukan busana
yang khas[1] Iring-iringan intat
linto baro atau musik rakyat sebagai seni pertunjukan terbagi menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok seni fungsi primer dan kelompok seni sekunder.[2] Seni
pertunjukan berfungsi primer adalah sarana ritual, sebagai sarana hiburan
pribadi, sarana pesentasi estetis. Fungsi ritual berkembang dikalangan
masyarakat yang tata kehidupanya mengacu pada nila-nilai budaya agraris, serta
masyarakat yang memeluk agama dalam kegiatan-kegiatan ibadahnya sangat
melibatkan seni pertunjukan.[3] Seni pertunjukan
berfungsi sebagai sarana hiburan pribadi adalah penikmatnya juga harus
berpartisipasi aktif di dalamnya, sehingga seni pertunjukan yang berfungsi
sebagai hiburan juga bisa kita sebut sebagai art
of participation.[4] Fungsi
sebagai hiburan pribadi setiap penikmat memiliki gaya pribadi sendiri-sendiri,
Tidak ada aturan yang ketat untuk tampil di atas pentas. Penikmat bisa
mengikiti irama tari serta merespon, kenikmatan pribadi akan tercipta.[5] Fungsi
presentasi estetis merupakan seni pertunjukan kolektif hingga penampilnya di
atas panggung menuntut biaya yang tidak sedikit. [6]Umumnya seni
pertunjukan yang berfungsi sebagai presentasi estetis panyandang dana
produksinya (production
cost) adala pembeli karcis. Sistem manajemen macam ini lazim disebut
pendanaan yang ditanggung secara komersial. (commercial
support).[7] Seni
pertunjukan berfungsi sekunder salah satunya seni pariwisata, seni pariwisata
adalah seni yang dikemas khusus buat wisatawan, yang memiliki tiruan-tiruan
dari aslinya, dikemas padat atau singkat, dikesampingkan nilai-nilai primernya,
penuh variasi, menarik, serta murah harganya.[8]
Penutup
Metode
penelitian Musik aceh sampai saat ini masih terus dekembangkan. Menafsirkan musik
aceh dengan menggunakan motede yang berkembang akan mengalami kesulittan serta
miss interpretasi terhadap musik yang dimainkan oleh masyarakat aceh. Pemahaman
dengan mengguanakan emic perpective harus selalu digunakan agar peneltian musik
aceh bukan lagi dilihat sebagai komparatif, atau budaya tinggi atau budaya
rendah. Musik bagi masyarakat aceh di sebut dengan lagu. Penggunaan tonal suatu
musika dibuat dengan cara manual atau dimainakan sesuai laras lokal (terroir)[3],
meskipun tidak menggunakan ansambel atau harmoni maka kejadian fenomena
tersebut dikenal dengan musik.
Wallahua'lam Bishawab.
Penulis : Rudi Asman,
S.Sn.
KEPUSTAKAAN
Asy’arie,
Musa. 1999 Filsafat Islam, Yogyakarta:Lembaga Studi Filsafat
Islam.
Banoe, Pono.
2003. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius.
Darmawan,
Hendro. 2013. Kamus Ilmiah Populer.
Yogyakarta: Bintang Cemerlang.
Hadi, Amirul,
2010. Aceh Sejarah Budaya dan Tradisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,.
Hood, Made
Mantle. 2014. “Menuju Penerapan Musical Terroir Konteks Melemahnya Laras
Lokal”, dalam, St. Hanggar budi Prasetyo dan Agnes Widyasmoro,ed., prosiding seminar Nasional Festifal Kesenian
Indonesia Ke 8 “Spirit of The Future: Art for Humanizing” Yogyakarta: BP
ISI Yogyakarta.
Isjkarim.
1981. “Kesenian Tradisional Aceh”. hasil
lokakarya 4/8 januari di Banda Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kantor Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
K Haiti,
Phlilip. 2014, History Of The Arabs, terj.R. Cecep Lukaman Yasin dan Dedi
Slaemet Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Kuntowijoyo.
2006. Budaya dan Masyarakat : Edisi
Paripurna. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Liliweri, Alo.
2014. Pengantar Studi Kebudayaan.
Bandung: Nusa Media.
Memet chairul
slamet. 2015. “ketakturhubungan dalam keterhubungan “, makalah disajikan dalam rangka seminar Etnomusiklopedia jurusan
Etnomusikologi- ISI Yogyakarta.
Nakagawa, Shin. 2011
Musik dan Kosmos, Yogyakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Nettl, Bruno.
2012. Teori dan Metodologi dalam
Etnomusikologi., terj. Nathalian H.P.D Putra. Jayapura: Jayapura Center Of
Music.
Peursen C. A,
Van. 1988. Strategi kebudayaan,
Yogyakarta: Kanisius.
Prier
S.J, Karl Edmund. 2006. Sejarah
Musik Jilid I. Yogyakarta: Pusat musik
Liturgi.
Raji Al-Faruqi,
Ismail. 1999. Seni Tauhid: Esensi dan
Ekspresi Estetika Islam, terj. Hartono Hadi Kusumo Yogyakarta: Bentang
Budaya.
Reid, Anthony.
2011. Menuju Sejarah Sumatra Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Soedarsono, R.M.
2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era globalisasi. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Sugiyono, Metodologi Penelitian R&D Kualitatif dan
Kuantitatif. (Bandung: Alfabeta, 2012).
[1]Memet chairul slamet, “ketakturhubungan
dalam keterhubungan “, makalah
disajikan dalam rangka seminar Etnomusiklopedia jurusan Etnomusikologi- ISI Yogyakarta,
06 Desember 2015, 1-2.
[2]Peursen, Van C. A., Strategi kebudayaan, (Yogyakarta:
Kanisius 1988).
[3]Made Mantle Hood, “Menuju
Penerapan Musical Terroir Konteks Melemahnya Laras Lokal”, dalam,St. Hanggar Budi
Prasetyo dan Agnes Widyasmoro,ed., Prosiding
Seminar Nasional Festifal Kesenian Indonesia Ke 8 “Spirit of The Future: Art
for Humanizing” (Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2014), 202.