Syech menjadi konsep
pertunjukan Kesenian Rapa’i Aceh. Rapa’i merupakan instrumen ritmis yang
dimainkan secara berkelompok serta harus
mengikuti tanda-tanda tertentu dari syech
untuk mengubah dari satu bentuk musik ke
bentuk yang lain. Kebiasaan masyarakat Aceh memperlombakan rapa’i disebut dengan tunang.
Sehingga, pergerakan musikal sangat tergantung dari kesuksesan seorang syech mengatur ritme musikal dan
ketahanan fisik anggota yang dipimpinnya. Penelitian ini mengunakan pendekatan Etnomusikologis.
Kajian Etnomusikologi menurut Alan P Meriam sasaran utamanya adalah musik dilihat sebagai gejala Manusia,
dia diamati dengan tiga tingkatan analisis : Konseptualisasi tentang musik,
Tingkah Laku Dalam hub, dan Suara musik Sendiri. Kesenian Aceh yang sangat erat
dengan serapan budaya keislaman dan budaya Timur Tengah. Serapan budaya
tersebut mempengaruhi akan kognitif, etika, epistimologi hingga spirit baru.
Sehingga prilaku masyarakat Aceh banyak diselasaikan dengan cara-cara
pendekatan budaya. Dengan mengunakan pendekatan metoda tafsir untuk mengetahui
kondisi mental masyarakat Aceh menapaki peradaban zaman. Dari bentuk kesenian
Aceh yang telah mengalami perubahan, persingungan, hingga penghilangan karakter
awal. Maka dengan ini kita akan mengetahui kelahiran budaya tersebut,
perjalanan kebudayaan, serta perkembangan budaya tersebut.
Kata
kunci: syech, budaya musikal, tunang,
rapa’i, tafsir.
I. Pendahuluan
Meunyoe
sue rapai ka pirah prang wajeb neu piyoh (jika suara rapa’i telah berhenti perang wajib
dihentikan). Kalimat semboyan tersebut selalu diucapakan oleh para pemain rapa’i. Kalimat yang sangat dikenal
tersebut menjadi peran musikal menentukan jalanya permaian rapa’i. rapa’i bukan
sekedar bunyi yang mengelegar dan penyemangat untuk mengobarkan perlawanan di
medan perang. Akan tetapi menjadi sebuah bentuk kesadaran untuk selalu bersatu
di dalam barisan, serta memeparjuangkan ketaatan.
Rapa’i
merupakan instrument diklasifikasikan sebagai instrument Membranofone. rapa’i
dimainkan dengan cara ditabuh dengan mengunakan tangan kanan dan dimainkan
dengan kondisi duduk bersila. Kesenian rapai
memiliki ragam-ragam pertunjukan seperti rapa’i
lipek, rapa’i bruek, rapa’i pasee, rapa’i daboh, rapa’i shalawat, rapa’i pulot
dan masih banyak lagi. Secara keseluruhan kesenian rapa’i merupakan peninggalan dari kelompok tarekah yang menyebarkan
Islam dengan pendekatan kebudayaan. Permainan rapa’i merupakan kombinasi antara pola ritmis yang jarang-jarang
dan lirik vokal yang sarat akan pesan-pesan keislaman. Sehingga kesenian rapa’i dipertunjukan pada acara-acara
maulid nabi, khitanan, kenduri kampung, perayaan hari-hari besar Islam, dan
perlombaan antar kampung dengan dimainkan hingga semalaman suntuk. Namun hingga
kini, kesenian rapa’i masih
dipergunakan oleh masyarakat Aceh sebagai iringan tari-tarian. Memasuki abad
19an banyak garapan baru kesenian rapa’i
tidak mengunakan syair lagu untuk menarik perhatian penonton.
Kajian Etnomusikologi
menurt Alan P meriam mengutamakn Objek studi. Sasaran utamanya adalah musik dalam arti yang paling luas dan
dilihat sebagai gejala Manusia, dia diamati dengan tiga tingkatan analisis :
Konseptualisasi tentang musik, Tingkah Laku Dalam hub, dan Suara musik Sendiri.
Rahayu Supangah menyataka “Tanpa konsep tentang musik, tingkah laku tidak akan
ada, Tanpa laku suara musik tidak akan dihasilkan”. Sistem kepemimpinan
merupakan ciri khas yang sangat diterima oleh seluruh kalangan rakyat Aceh
menjadikan konsep yang selalu diterapkan di setiap aktualisasi aktivitas
bermasyarakat. Kepemimpinan bagi rakyat Aceh sangat berarti. Seperti
diungkapkan oleh Jacob Sumardjo tipikal masyarakat pola empat lebih
mengutamakan Kebebasan individu dan
kebebasan kelompok mendasari hidup bersaing dalam memperebut kekayaan laut.
Persaingan dan peperangan merupakan bagian cara hidup mereka.
Maka di setiap elemen kegiatan akan selalu di pipimpin oleh seorang syech. Agar segala permasalahan sebelum
terjadi atau terjadinya permaslahanan tersebut dapat cepat diselesaikan dengan
baik.
kajian untuk mengenai syech menjadi posisi sentral dalam sebuah
pertunjukan masih belum di temukan secara lengkap di lapangan maupun di perpustakaan
aceh. Sosok syech. Penerapan konsep
kepemimpinan di segala elemen aktivitas sosial tersebut dibawa hingga kedalam
bentuk musikal tunang rapa’i. Maka
didalam tulisan ini akan menjelaskan mengapa kesenian rapa’i mengunakan syech di
setiap pertunjukan musikal dan Bagaimana
para Syech tersebut melatih kemampuan
musikal grupnya.
A.
Sejarah
Aceh
Aceh
merupakan bagian dari provinsi yang berada di kepulauan Sumatra. Sumatra adalah
sebuah perbatasan. Bagi peradaban-peradaban lama yang berada disekeliling
Samudra India, pulau itu merupakan pulau kaya raya penuh rahasia
Timur-Suvarna-Dvipa, “Tanah Emas”
pengawal gerbang menuju semua harta Asia Tenggara, hampir tidak pernah
sepanjang sejarah mereka di bawah bimbingan kerajaan-kerajaan yang kuat. Orang Sumatra
tidak segan mengakui bahwa mereka kurang berbudaya di bandingkan dengan orang
Jawa kelas atas, tetapi dengan cepat mereka akan menambahkan bahwa mereka lebih
eligater, lebih berjiwa wirausaha dan mandiri.
Pulau ke enam yang
terbesar di dunia, lebih dari dua kali dari pada Inggris dan Honshu, Sumatra
baru-baru ini saja, sejak 10.000 tahun yang lalu, terpisah dari daratan Asia
(dan Jawa dan Borneo). Bagian Barat pulau itu di dominasi oleh barisan pegunungan,
Bukit barisan, yang terbentuk akibat perbenturan Lempeng India yang bergerak ke
Utara dengan daratan Asia sejak 60 juta tahun yang lalu.
Pendapat Krom bahwa berhasilnya Samudra atau
Sumatra di pakai sebagai seluruh pulau itu karena ada kaitan dengan istilah
lebih tua dari bahasa sanskerta, Suwarna-Bumi
(Tanah Emas), yang sudah
dilekatkan kadang-kadang pada pulau Sumatra, khususnya sebuah tulisan Singgasari pada 1286. Para penulis abad 19
mungkin benar ketika mengatakan bahwa Sumatra waktu itu “tidak memiliki nama
yang mudah di ingat penduduk”. Seperti dijelaskan seorang penjelajah perancis
yang berpengalaman:
Jika kita tanya
seorang Sumatra asli apa nama yang di berikanya untuk pulaunya, sulit untuk
menjelaskan kepada dia apa yang kita maksud. Ia tahu ada pulau-pulau
,banyak sekali, suku-sukunya beragam, bahasa-bahasanya tidak terhitung, bagi
dia sebuah dunia tersendiri
Mereka memperkokoh
ingatan turun temurun rakyat Aceh
bahwa puncak kekuasan dan kekayaan kesultanan tercapai di bawah Sulatan Iskandar Muda (1607-1636). Priode ini
merupakan masa ke jayaan Aceh serta salah
satu kekuatan-kekuatan penting di Asia, dengan kekuasan terbentang jauh hingga
Tiku dan Pariaman (dekat kota Padang sekarang) di Sumatra Barat.
Era zaman purba daerah
ini dikenal dengan nama Seroja. Menurut bahasa, Aceh termasuk pada Deutro Melayu. Orang Aceh juga disebut orang Mantir (Monte) yaitu orang Aceh
yang hidup di Rimba Raya. Orang-orang Monte bebadan agak kecil dari orang Aceh yang ada sekarang.mereka adalah
pendatang dari India, Andamen dan Nicobar.
Abad ke-8 daerah Aceh
dikenal dengan nama Rami (Ramni) sedang orang Cina menamakan derah
ini dengan logat Lan-Li atau Lan-Wu atau Nan_Wu-Li dan juga Lan-Poli
padahal yang sebenarnya adalah Lam Muri, sedangkan dalam sejarah Melayu daerah Aceh
disebut dengan nama Lambri atau Lamiri.
Begitu pula dengan
orang Italia, orang Arab menyebutnya dengan Ashi,
Dacin,atau Dachen. Orang Perancis
menyebutnya dengan Achem, Achin ada juga yang menyebut dengan Acheh. Bangsa Inggris menyebutnya dengan
logat sendiri Atcheen, Acheen atau Achin.orang-orang Belanda menyebut
dengan nama Achem, Atchein, Etchin, Acin, Athes dan Aceh.
Perjalana kerajaan Aceh
memiliki hubungan pemerintahan yang sangat dengat dengan Negara bagian Timur
Tengah. pada masa tersebut kepemimpinan Islam di pegang penuh oleh Negara
Turki. Dalam hubungan pemerintahan ini merupakan kesamaan visi terhadap
peraturan negara yang di kelola secara Islam. Ada kemungkinan Kerajaan Aceh
menjadi tumpuan penyebaran Islam yang berada di sentra Nusantara. Pelaksanaan
pemerintahan secara Syari’ah Islam menjadikan warna tersendiri bagi
kerajaan-kerajaan Aceh pada masa tersebut, yang dikarenakan pada masa Abad 12
hingga 18 merupakan masa perdagangan dan kependudukan negara-negara adigdaya
seperti Inggris, Belanda, Portugis. Sehingga banyak litertur sejarah menyatakan
Sumatra merupakan pintu strategis dalam pusat perdagangan serta sekaligus
mengali kekayaan alam yang sangat melimpah di sediakan oleh alam sekitarnya.
B.
Konsep
kebudayaan Aceh
Adat
ngoen Hukom hana tom tjre, Adat ngon hukom lage dzat ngon sifeut
(adat dengan hukum tidak pernah berpisah, Adat dengan Hukum seperti Dzat dengan
Sifat). Kalimat tersebut diucapkan oleh
para raja-raja Aceh pada masa kepemimpinannya. Kalimat yang di dengungkan
tersebut sebagai sarana pengarahan bagi masyarakat Aceh. Kehidupan dan penghidupan
masyarakat Aceh yang bersendi adat dipimpin oleh sultan dan hukum dipimpin oleh
para ulama. Adat merupakan wujud tata cara yang wajib dilakukan sebagai prilaku
ketaatan. Serta adat tersebut selaras dengan hukum agar dapat mengikuti pedoman
ajaran Agama Islam. Hukum merupakan ketetapan yang tidak bisa di tawar lagi.
Adat Aceh pada masa kerajaan Sultan Iskandar Muda ditata kembali agar
berkesusuai dengan hukum yang diterapkan. Hukum yang dimaksud adalah hukum
Syariat Islam berdasarkan al qur’an, hadis nabi, ijmak (kesepakatan ulama), dan
qiyas (mengunakan akal disaat terdapat hukum yang belum diketahui
keputusannya).
Kesadaran kognitif
tersebut dibagun tersebut agar ke-Islaman yang menjadi keiman masyarakat aceh
dapat terjaga. Adat kebiasaan mereka
yang tumbuh sebelum Islam, mereka sesuaikan dalam kehidupannya sesudah mereka
masuk Islam; yang tidak berlawanan dengan ajaran agamanya yang baru (Islam)
mereka terus memakaianya, sementara yang berlawanan atau tidak cocok, mereka
tingalkan berangsur-ansur.
Pengunaan ajaran Islam sebagai pedoman hidup masyarakat Aceh, agar ajaran
tersebut bagi kehidupan manjadi kebahagiaan dunia dan akhirat. Kata ada bagi
masyarakat Aceh di golongkan dalam kebudayaan. Umat Islam kebudayaan merupakan
terikat dengan etika. Sehingga,
kebudayaan dalam artinya sebagai kata kerja atau sebagai proses. Kebudayaan
sebagai proses berpusat pada pikiran dan hati manusia. Kebudayaan dapat pula
disebut sebagai aktivitas pemikiran. tahap ini manusia, kebudayaan adalah usaha
dan upaya manusia menjawab tantangan yang di hadapkan kepadanya.Dengan kata lain Pertemuan konsep kebudayaan
para di bawa kaum muslimin memasuki masyarakat Aceh di dalamnya terdapat sub
adat menjadi pondasi untuk membangun peradaban Aceh.
Kata Islam, semantik berasal
dari akar kata salima artinya
menyerah, tunduk dan selamat. Kesadaran manusia yang memiliki keterbatasan
dalam segala hal dan sesuatu. Baik dari keterbatasan jangkauan pemikiran hingga
kekuatan menjadi hal yang harus dikembalikan kepada menciptakan manusia. Manusia
yang memiliki indra dan akal sebagai pengamatan awal mengetahui objek yang ada
dialam ini sangat tertata dengan baik. Maka, akal mencerna ada sesuatu yang
mengatur alam semesta agar terjadinya keseimbangan antara alam dan manusia.
Sehingga disaat islam diperkenalkan oleh masyarakat Aceh dapat menyelesaikan problema
pokok ini dan dipecahkan untuk cara manusia dengan cara yang sesuai dengan
fitrahnya, memuaskan akal, serta memberikan ketenangan jiwa. Lebih jauh ajaran
Islam juga mengenalkan akan kehidupan hari berikutnya yang kekal. Kehidupan
setelah kematian dan Bukan untuk hidup di bumi kembali.
Kehidupan bagi seorang
muslim merupakan cobaan atau ujian untuk menghadapi hari esok. Hari kemudian
harus dipahami dilewati dengan prilaku beribadah kepada Sang Pencipta Alam
Semesta, Raja Manusia, dan Yang Maha Esa. Sifat-sifat yang telah diperkenalkan
tersebut adalah tuhan. Bagi umat Islam disebut dengan Allah Subhana wa ta’ala
(SWT). Hal-hal ibadah (kegitan yang dicontohkan atau diajarkan dari Allah SWT
melalui nabi Muhammad SAW) yang ditetapkan tersebut di sampaikan melalui
utusannya Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam (SAW). Ajaran islam yang
disampaikan tersebut ditekankan pada tauhid (mengesakan Allah sebagai tuhan
tidak ada sesembahan yang layak disembah) dan mengakui nabi Muhammad SAW sebagai
utasan dan penerima wahyu. Mendirikan sholat, berpuasa pada bulan ramadhan,
memberikan zakat, dan naik haji di mekkah apabila mampu. Dilain sisi ada yang
dibebankan unutk berlaku baik sebagai prilaku sehari-hari dan tidak menindas
segala sesuatu yang ada di muka bumi, berkata jujur, hingga ajaran untuk patuh
kepada pemimpin yang ada disepakati oleh kelompok masyarakat. Dan tidak boleh
berpisah dengan umat-umat seiman (Islam). Sehinga bagi yang mengimani akan
keberadaan Allah SWT dan mengikuti aturan-aturan yang telah di tuntukan oleh
Nabi Muhammad SAW disebut seorang muslim.
Kehidupan masyarakat
Aceh sebelum Islam masih mudah unutk melakukan pembunuhan dan perampokan.
Disaat ajaran Islam pola kehidupan tersebut ditata secara bertahap. Konsep
kemasyarakatan dengan pola khalifah yang sebelumnya belum dikenal tersebut
menjadi bagian dari aktualisasi berkesesuaian dengan individualistik dan
bermasyarakat. Masyarakat Aceh memberikan gelar syech pada sesorang hampir sama dengan padanan kata khalifah dan
terdapat dua fungsi. Sebagai pemimpin keagamaan (ulama) atau pemimpin dalam
barisan grup kesenian. Syech pada
masa keislaman masih dalam taraf pengenalan ditengah-tengah masyarakat juga
terlibat memberikan kontribusi dibidang kesenian. Kesenian yang di hadirkan di
tengah-tengah masyarakat sebagai sebuah budaya tandingan, dan sekaligus membuat
kognitif baru bagi masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai media pesan-pesan
keislaman yang mudah dan singkat. dimulai oleh para syech yang juga terlibat di dalam barisan kesenian selama
pertunjukan. Setelah sekian lama syech
dikenal sebagai tokoh agamawan (ulama) dan dilain sisi sebagai seorang seniman.
Maka Apabila syech tersebut memasuki arana pertunjukan maka ia
sebagai pengatur keserasian disetiap pertunjukan seni.
C. Teori seni islam
Peradaban seni bagi
kaum muslim pada awalnya adalah masih merupakan kegiatan yang belum menjadi
sasaran utama bagi peradaban umat islam. Seni
pada masa arab kuno masih bersifat keahlian seseorang yang mampu
mengungkapkan segala sesuatu dengan kata-kata indah dan berbau mistik atau
lebih dikenal dengan syair. Dijelaskan oleh Philip k haiti :
“Puisi-puisi terdahulu ini terus dilestarikan dalam ingatan,
ditransmisikan melalui tradisi lisan dan akhirnya di catat dalam bentuk tulisan
pada abad kedua dan ketiga hijriah...prosa bersajak yang digunakan oleh para
dukun dan peramal (kuhhan) dipandang
sebagai tahap awal perkembangan bentuk puitis. Nyanyian para penunggang unta (Huda) adalah tahap perkembangan kedua.
Tradisi bahasa arab asli yang berisaha menjelaskan asal-usul perkembangan puisi
pada kebiasaan para penunggang kuda yang bernyanyi mengikuti gerak ritmis
langkah untunya, tampak mengandung kebenaran. Kata hadi, penyanyi, adalah
sinonim dari kata sa’iq, penunggang
unta.
Gaya puisi rajaz,
yang terdiri atas empat atau enam baris sajak, merupakan perkembangan lebih
lanjut dari prosa sajak dan mengantikan bentuk sajak yang paling tua dan paling
sederhana. “rajaz adalah embrio
puisi,” demikian ujar orang-orang arab, “dengan prosa bersajak [saj] sebagai ayahnya dan lagu sebagai
ibunya.”
Al qur’an selama masa kenabian Muhammad SAW merupakan
kalimat wahyu yang memiliki padanan kata diatas rata-rata pemahaman manusia
pada masa tersebut. Baik dari segi perkataanya yang mengandung tanda-tanda yang
mengagumkan, dan irama kalimat yang memiliki bunyi yang sangat mudah, Sehingga
tidak jarang pada masa tersebut banyak para penyair untuk menantang nabi
Muhammad SAW bahwa isi kalimat al qur’an dapat di tandingi dengan mengunakan
syair manusia biasa. Namun al qur’an merupakan petunjuk bagi manusia dan
memperbaiki ahlak manusia. Dimana pada masa Arab kuno masih yang banyak tidak
mengetahui akan tujuan hidup dan siapa yang menciptakan alam semesta. Sulah al
alaq 96 1-5: merupakan sebagai seurah pertama yang turun sekaligus sebagai
tanda bukti kenabian Muhammad ditugaskan untuk mengemban menyampaikan apa-apa
yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai Tuhan pencipta alam semasta.
“1)Bacalah,
atas nama tuhanmu yang telah menciptakan, 2)Dia menciptakan manusia dari
segumpal darah. 3)Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. 4)yang mengajar
(manusia) dengan perantara pena (kalam). 5)Dia mengajari manusia apa yang belum
diketahuinya”
Perjalanan peradaban Islam pada generasi
selanjutnya mulai berkembang mengunakan konsep-konsep seni sebagai penyebaran
risalah keislaman yang menjadi wilayah kekuasaan Islam. Tokoh-tokoh kesenian
banyak yang di konsepsikan oleh kelompok sufistik. Sufi merupakan Kaum muslim
yang menjalankan aktivitas peribadatan yang lebih menekankan dengan
keseimbangan jiwa, atau dikenal oleh kalangan kaum muslimin dengan aliran ilmu
tasawuf. Kaum sufi banyak mengunakan kekuatan ontologi. Pola tersebut Pengaruh
pertemuan kebudayaan Yunani. Dan pada saat itu islam dihadapkan dengan
penjelasan Islam dengan mengunakan keselarasan akal dengan tanda. Kelompok sufi
tersebut banyak menelurkan karya-karya kritik terhadap keilmuan para filosof
Yunani. Tokoh-tokoh tersebut adalah al-farabi, ibnu sina, al-ghazali, ibn
al-Rasyd dan masih banyak lagi.
Mereka berpendapat
terhadap Pemahaman konsep seni Yunani,
seni merupakan imitasi (memesis) yang
dapat diciptakan oleh manusia (crasio).
Menurut ibnu sina karya Seni,
sebagai mana juga menurut al-farabi, pada hakikatnya bersifat imaginatif,
rasail ilmiah mendasarkan pada objetifitas dan pembuktian logis. Penyalinan
secara akliah yang dibuat imajinasi bersifat subjektif dan tidak memerlukan
pembuktian logis. Bardasarkan pandangan al-farabi ini al-farabi dan al-Jurjani
mengatakan :
“bahwa
hubungan Objek-Objek estetis dalam karya
seni dengan realitas dapat dirumuskan sebagi berikut: 1). Tahsin (menghias,
memberigaya atau stalasi). 2). Tahqih (Perusakan, deformasi) dan 3). Mutabaqah
(pemberian Balance atau keseimbangan, yaitu keseimbangan dimensi jasmani dan
dimensi rohaninya)”
Penghayatan estetik
bagi seorang muslim merupakan bagian dari kesadaran inteleknya. Dengan kata
lain pengalaman estetik dapat mengugah dan menyegarkan jiwa seseorang, dan
membawanya unutk memasuki pada situasi
makna, artinya seseorang dapat menghayati suatu makna baru dalam pelajaran hidupnya
dan membuat hidupnya lebih bermakna. Seseorang dapat mengembangkan pengalaman
estetiknya pada pengembangan pemikiran imajinatif yang sering sekali bergerak
meloncat-loncat dan tidak liner, yang mendorong kreatifitasnya bekerja lebih
cerdas unutk membuka kemungkinan baru dan membri jalan mencari terobosan baru.
Seni bagi muslim
merupakan bagian yang dijadikan bagian aktifitas dakwah dan untuk menjalin
umat. Aktifitas seni dikonsepsikan agar tidak melakukan kembali hal-hal yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Sehingga para ilmuan, ahli adab, ulama fiqih
dan usuluddin, serta ahli tasawuf berpegang pada pendapat ini. Maka seni dapat
berfungsi sebagai sarana efektif menyebarkan gagasan, pengetahuan ,
informasi yang berguna bagi kehidupan
seperti pengetahuan dan informasi berkenaan sejarah, geografi, hukum,
undang-undang, adab, pemerintahan, politik, ekonomi dan gagasan keagamaan.
Seni bagi masyarakat
muslim secara umum sebagai keahlian seseorang mengunakan instrument serta
mengolah nada. Dalam pemahaman umat muslim tetang musik merupakan kesadaran
pengunaan Khosiat ( ciri khas dan sifat) instrument / benda. Potensi bunyi
sebagai sarana relaksasi atau imajinasi,
pelengkap suasana (perayaan maupun sebagai tanda). Sehingga konsep yang telah
disusun secara sistematis tersebut disebarkan kedalam kebudayaan masyarakat Aceh.
Persebaran kesenian
musik merupakan sebagai pengubah mental. musikal sebelumnya pra moderen yang
dominan nada tunggal dan monoton, menuju irama yang senang, sedih, tegas dan
lebih variatif. (proses pengenalan irama bacaan/qiraah Al-Qura’an serta
pengenalan bahasa Arab dan di padukan dengan bahasa Aceh), serta penghilangan konsep atau idiologi musik sebagai bagian
kosmologi alam. Dimana masyarakat pra moderen musik sebagai media penghubung
yang transendent.
D.
Tingkah
laku
1.
Verbal dan Proses Pembelajaran
Aceh merupakan kota
yang kosmopolit pada abad ke 17. Aceh telah menjadi kawasan majemuk dan
terbuka. Keragaman etnis dan budaya mengharuskan pengelolaan negara harus
memiliki kebijaksanaan brilian dari
penguasa Aceh. Dengan sikap keterbukaan, Aceh mengadopsi apa yang dianggap
penting dan sesuai dengan kepercayaan dan tradisi mereka. kebijaksanaan
tersebut adalah mengadopsi bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan, bukan
bahasa Aceh. Disebutkan oleh Leonard Andaya sebagai “model masyarakt Melayu
Aceh abad ke 17.” Dengan perubahan standarisasi ke-Melayu-an dengan mengunakan
pondasi Islami, sehingga Aceh menjadi pewaris kebudayaan Melayu kerajaan
Malaka, secara lebih Islami.
Aspek yang dominan dari
unsur budaya tersebut terdapat pada dimensi sastra dan tradisi kerajaan.tradisi kerajaan mengunakan bahasa Melayu
menjadi bahasa intelektual Islam. Aceh ketika itu menjadi pusat kajian Islam
yang menghasilkan berbagai karya ke-Islaman dalam bahasa Melayu. Kesuksesan
pengunaan bahasa Melayu tersebut Aceh menjadikan alat penyebaran Islam menyebar
keseluruh nusantara sekaligus menjadikan bahasa melayu sebagai lingua franca.
Sastra Aceh dikalangan
masyarakt masih mengunakan bahasa Aceh asli. Pendekatan sastra tersebut sebagai
sarana penyebaran intelektualitas dan keagamaan. Sastra berasal dari kata sas
(ajaran) dan tra (alat). Sastra adalah alat (wahana) untuk mengajarkan kearifan
hidup. Sehingga sastra memiliki bahasa yang khas, mengkomunikasikan sebuah
kebenaran. Sastra tersebut dikemas mengenai kisah para Nabi-nabi, cerita sosok
raja yang adil atau yang keji, kisah muda mudi, hari kebangkitan, dituangkan
dalam bentuk syair dan pantun-pantun. Syair tersebut terkadang di lagukan atau
bahasa komunikasi sehari-hari.
Kemampuan seorang syech adalah menyampaikan ajaran-ajaran
hidup berasaskan keislaman dengan mengunakan bahasa yang santun, informatif,
perumpamaan, imajinatif, dan menarik. Bahasa sastra terkait dengan pikiran, dengan
pikiran orang akan dapat memahami sesuatu dengan cerdas. Sastra juga dapat
menjadikan hikmah (pelajaran) bagi pendengarnya. Sosok syech bagi masyarakat menjadi pusat perbendaharaan kata-kata setiap
melakukan interaksi sosial.
Pengenalan bahasa
sastra merupakan serapan yang sangat disenangi oleh masyarakat Aceh. Pengenalan
etika bersumber dari sastra tersebut menjadi kognitif yang terus menerus
diaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Gaya bahasa, irama, serta penekanan
juga mempengaruhi Fonis (bunyi
bahasa) masyarakt Aceh. Maka dengan sendirinya menjadi sebuah Fonemik (bunyi ujaran atau Logat) disaat
ada pertemuan antara satu kelompok atau individual yang belum saling mengenal.
Logat tersebut mempermudah interaksi dan keakraban. Pengunaan logat sebagai
tanda untuk mengunakan bahasa yang lazim atau bahasa Melayu.
Pertunjukan kesenian rapa’i sering di perlombakan antar
kampung, atau disebut dengan tunang. Tunang merupakan pertandingan
ketangkasan antar kelompok rapa’i
yang dibentuk suatu kampung dan dipimpin oleh seorang syech. Selama pertunjukan tersebut dilaksanakan selama semalaman
suntuk. Maka peran seorang syech
harus mampu menciptakan pantun-pantun, maupun syair. Irama
pantun biasanya dibagi dalam 3 babakan. Tahapan ini sengaja dipakai agar dapat
menyampaikan tema acara yang dipentaskan. Tema-tema acara tersebut adalah
maulid nabi, kenduri kampung, perayaan kerajaan, sunatan, pernikahan, dan
lain-lain. Sehingga seorang syech harus memiliki kemampuan mengolah kata dan
kalimat agar pesan-pesan tersebat sesuai dengan konteks.
2. Sosial dan Syech
Syech
berasal dari kata Arab yang di adopsi menjadi padanan bahasa orang Aceh. Syech berarti orang yang dapat
memberikan petuah, nasehat, orang yang memiliki pengetahuan banyak, menangani
permasalahan konflik maupun kenyamanan sosial, pemimpin keagamaan, atau sosok
yang mewakili sesuatu kelompok. Sosok Syech merupakan orang yang paling tua
diantara para kelompok manusia. Sosok tersebut mengetahui banyak hal untuk
dapat menyelasaikan segala permasalahan yang ada di kelompok tersebut. Di dalam
Islam mengajarakan dengan konsep khalifah untuk menjaga umat muslim. Dalam
kontek politik, harus dipahami sebagai konsep kekuasaan politik yang
berlandaskan hukum-hukum Allah, baik yang tersurat dalam firman-firman-Nya
maupun yang terkandung dalam diri manusia dan alam semesta, yaitu hukum agama
dan moralitas, hukum akal sehat dan hukum alam. Maka kosep Syech yang juga berkesesuaian dengan konsep islam tersebut tetap
digunakan hingga kini dan masyarakat Aceh.
Kehidupan masyarakat
Aceh sebelum Islam masih mudah untuk melakukan pembunuhan (Tueng bila/balas
dendam). Disaat ajaran Islam pola kehidupan tersebut ditata secara bertahap.
Konsep kemasyarakatan dengan pola khalifah yang sebelumnya belum dikenal
tersebut menjadi bagian dari aktualisasi berkesesuaian dengan individualistik
dan bermasyarakat. Bagi orang Aceh gelar syech
hampir sama dengan padanan kata khalifah dan terdapat dua fungsi. Sebagai
pemimpin keagamaan (ulama) atau pemimpin dalam barisan grup kesenian. Syech
pada masa keislaman masih dalam taraf pengenalan ditengah-tengah masyarakat
juga terlibat memberikan kontribusi dibidang kesenian. Kesenian yang di
hadirkan di tengah-tengah masyarakat sebagai sebuah budaya tandingan, dan
sekaligus membuat kognitif baru bagi masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai
media pesan-pesan ke-Islaman yang mudah dan singkat. Sosok syech tersebut di gunakan juga dalam barisan permainan kesenian rapa’i selama pertunjukan. Syech dapat dikenal
sebagai tokoh agamawan (ulama) dan dilain sisi sebagai seorang seniman. Maka
Apabila syech tersebut memasuki arena pertunjukan maka ia
sebagai pengatur keserasian disetiap pertunjukan seni.
3. Rapa’i
Rapa’i
dikenal oleh masyarakt aceh dikenal pada abad X seorang ulama besar : Syech
Abdul Qadir Al-jailani dari Arab / Iraq ke Aceh
untuk mendampingi “Tuan Di Kandang Syech Bandar Darussalam” yang bernama Mahdum
Abi Abdullah Syech Abdul Rauf Bagdadi untuk memperluas ilmu agama dan ilmu
pengetahuan di Aceh dengan membawa Seni Rapa’I dan Debus asal Persia.
kesenian Rapa’i memasuki persebaran
kedalam wilayah masyarakat aceh khususnya wilayah pesisir mengalami
pengembangan dan penambahan. Kesenian rapa’i
dikembangkan menambah gairah masyarakat mempelajari ilmu agama Islam.
Jenis-jenis kesenian rapa’i memiliki ragam bentuk pertunjukan. Namun secara garis besar
memiliki kesamaan pola diantaranya. Jumlah pemain satu kelompok dapat terdiri
dari 12-40 orang. Memainkan dengan posisi duduk dengan berbanjar lurus (shaf
shalat) atau melingkar seperti obat nyamuk. Seorang syech berada pada posisi di tengah diapit oleh asisten disebut
dengan apet wi (kiri) dan nen (kanan), memiliki penyanyi solois yang berada
pada posisi di luar barisan disebut dengan aneuk
diek. Tiap akhir dari suatu babakan dimainkan dalam tempo cepat, dan disaat
itu pula dihentikan secara serempak dan mendadak.
4. Tunang
Pertunjukan kesenian Rapa’i sering di perlombakan antar kampung, atau disebut dengan Tunang. Tunang merupakan pertandingan ketangkasan antar kelompok rapa’i yang dibentuk suatu kampung dan
dipimpin oleh seorang syech. Selama
pertunjukan tersebut dilaksanakan selama semalaman suntuk. Maka peran seorang syech harus mampu menciptakan
pantun-pantun, maupun syair. Irama pantun biasanya dibagi dalam 3 babakan. 1)
Babak pembuka disebut dengan Saleum. 2) Babak
Tema terdiri dari Bak saman, Likok,
Saman, Kisah. 3) Babak penutup Lani / Ekstra.
Rapa’i tunang dilakukan agar kelompok
masyarakat saling membangun wilayahnya dengan keilmuan berasaskan ke-Islaman.
Ajang persaingan antar kelompok rapa’i
kearah intelektual terus dibangun, agar segala sesuatu dapat diselesaikan
dengan mengunakan akal dan etika yang baik dengan mengunakan media sastra.
Persaingan tersebut sebagai pengelolaan emosi masyarakat yang memiliki kelompok
kesenian rapa’i dapat di arahkan
menjadi positif dan sportif.
Tunang rapa’i
biasanya diadu antar dua kelompok yang saling tidak mengenal atau memang sudah
pernah menjadi lawan tanding sebelumnya. Diantara dua kelompok tersebut akan
diberikan pembatas tali dan diantara tali tersebut akan berdiri seorang juri
memberikan tanda untuk memulai perlombaan. Acara tunang terdiri dari kelompok tuan rumah dan pendatang Ragam tunang terdapat dua jenis :
1. Tunang dimulai
kelompok tuan rumah memainkan pola musik dan kelompok pendatang akan
memperhatikan untuk nanti akan di ikuti. Juri memberikan tanda memulai
memainkan pola musikal tuan rumah, namun permulaan pola musik lawan tidak pada
posisi birama yang sama. Tergantung dari juri kapan ia memulai pertandingan.
Pertandingan ini akan dinilai oleh para penonton kelompok mana yang dapat
menjaga pola lagu yang berbeda birama dan suara rapa’i yang nyaring. Maka apa bila ada yang kehilangan bentuk pola
musik akan disoraki oleh penonton dan hasil perlombaan akan di ketahui. Pola
bentuk musik menjadi bagian babakan yang menetukan kemenangan sebuah kelompok
rapai. Jenis perlombaan rapai tunang dikenal dengan uroh. Berkembang pada wilayah Aceh timur.
2. Tunang rapa’i Pantun
dan Dabus (atraksi kebal terhadap
bendatajam) . Setiap babakan akan memiliki pola musik yang sama. Namun yang
menjadi menarik dalam tunang ini
adalah kemampuan seorang syech
menjawab pantun yang dilontarkan oleh pihak lawan dan memvariasikan pola bentuk
musik rapa’i. Kecakapan seorang syech mengolah kalimat sangat
dipertaruhkan untuk membuat kelompok lawan tidak dapat menjawab pantun balasan.
Kejernihan suara tabuhan rapa’i juga
mempengaruhi. Semakin jernih suara rapa’i
dengan mudah untuk menghilangkan suara rapa’i
lawan tandingnya. Maka kesempatan mempengaruhi fokus lawan tanding juga sangat
digunakan oleh seorang syech selama
tunang. Klimaks babakan tunang ini akan berdiri sorang pemain debus untuk menyemangati kelompoknya dan
sekaligus sebagai penanda kelompok tersebut sebagai pemenang babakan tersebut.
Pertunjukan tunang bukan
sekedar ajang melakukan perlombaan semata. Namun, sebagai sarana mempertemukan
antar kamupung agar dapat saling mengenal dan membangun sikap silahturahmi.
Disetiap penghujung acara akan selalu dilakukan kenduri pemotongan kambing atau
kerbau dan makan bersama. Kegiatan tersebut agar antar kelompok tidak ada dedam
kepada kelompok yang telah mengalahkan mereka dipanggung.
5. Budaya musikal
Bila diamati secara priodik, maka
manusia hidup dalam suatu kehidupan yang menyerupai irama lingkungan, sehingga
dapat kita lihat masyarakat Aceh lebih menyenangi pertunjukan kesenian saman
atau seudati, yang di dalamnya
terdapat ketangkasan & kelincahan mengerakaan tubuh pemain dan musik
iringan hanya mengunakan vokal dan tubuh digunakan sebagai irama ritmis yang
menarik perhatian. seperti yang kita ketahui dalam dunia Kronobiolog yang mempelajari irama tubuh percaya bahwa irama adalah
bagian terpenting dalam kehidupan. pengaruh pengalaman ritmis sangat luas
karena irama adalah faktor kritis dalam kemahiran bahasa. pada
akhirnya disimpulkan bahwa aktivitas gerak tubuh dapat menimbulkan rasa senang.
Kondisi ini sangat penting karena hampir semua dasar dari interaksi sosial
adalah berirama (djohan,psikologi musik.2009
:59).
Para peneliti menemukan bahwa “ orang
terlibat dalam sebuah interaksi sosial secara tanpa disadari bergerak ’dalam
ruang’ satu sama lain melalui koordinasi ritme gerak dan isyarat yang seolah
memperlihatkan semua karakter tarian (montagu&matson,1979). Sehingga,
keserasian akan terjadi bila dua orang atau lebih memiliki kesesuaian dalam
irama yang sama. evolusi memfasilitasi kita dengan kapasitas untuk dapt
menginterpretasikan suara. Dengan demikian pemikiran atas memberikan alasan
bahwa manusia adalah mahluk ritmis yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan
prilakunya secara tepat. Sebelumnya manusia mungkin tidak tahu mengapa secara
khusus diperlakuakan secara musikal. Sementara, dalam kesehariannya sudah
memperaktikan beberapa aspek ritmis melalui kemampuan berbicara atau berkomunikasi
yang esensinya sama dengan musik.
Kemahiran bahasa adalah salah satu
langkah terpenting bagi spesies manusia untuk mempertahankan dan memperpanjang
usia hidup oleh sebab itu atribut yang membantu proses ini harus lah yang
terbaik atau pilihan. Aspek musikal dari bahasa seperti garis melodi , variasi
timbre, dan ritme juga merupakan aspek terutama dalam bahasa. Ritme juga
memainkan peranan penting dalam kemahiran bahasa (djohan,psikologi musik 2009:65). Melalui beberapa maksud seperti bahasa
tubuh, konteks dan terutama melalui aspek musikal dari bahasa (prosody), maka seorang dapat
mengekspresikan makna “sebenarnya” dari arti di bali sebuah kata. Pada
termilogi biologis dikatakan bahwa otak dilengkapi dengan sistem saraf yang
memiliki kemampuan untuk memproduksi dan menginterpretasikan pesan verbal dan
non verbal sebagai langka penting dalam hidup. Satu keuntungan dari aspek
musikalnya otak adalah terhadap kemahiran bahasa (djohan,psikologi musik 2009:66).
masyarakat Aceh hanya mengikuti kesenian
yang di ajarkan para syech. Seperti
yang kita ketahui kesenian ini dapat mempangaruhi jiwa manusia ke arah yang
baik dan juga ke arah yang buruk , seperti yang di unkapkan oleh Frijda (1986)
emosi muncul dan terjadi karena adanya objek tertentu. Sementara emosi adalah
suatu reaksi komplek terdiri dari perubahan fisiologis dari keadaan seimbang
yang secara subyektif dialami sebagai perasaan dan di manifestasikan dalam
perubahan tubuh dan dinyatakan melalui tindakan overt . dalam psikologi ,emosi di kelompokan ke dalam Pleasant
(menyenangkan) dan unpleasant (tidak menyenagkan) (djohan,psikologi musik 2009:65).
Islam sangat memberi perhatian besar
pada keindahan. Bahkan Islam memberi perhatian kepada bimbingan indra prasaan,
karena Dia-lah yang menjadikan manusia dapat menikmati dan menghayati berbagai
keindahan di alam ini (Qardhawi, yusuf
,Islam berbicara seni 2004:51) . Mereka sepakat atas bolehnya
nyanyian yang tidak berisikan kata-kata kotor dan jorok, yang tidak menimbulkan
ransangan birahi. yang di nyanyikan pada momen-momen kegembiraan seperti acara pernikahan,
menyambut orang-orang yang datang dari rantau, hari raya, dan semisalnyaa.
Semua itu dengan syarat bahwa penyanyinya bukan wanita yang ditonton kaum
laki-laki. Ulama telah membuat ketetapan, “pada asalnya sesuatu (yang bersifat
duniawi) itu boleh hukumnya”. Ini didasarkan pada firman Allah SWT, Dialah Allah, yang menjadikan segala yang
ada di bumi untuk kamu semua..(Al-Baqrah: 29). Dari sini lah para ulama Aceh
membagi-bagi seni pertunjukan kesenian Aceh dalam berbagai macam bentuk yang di
perbolehkan dalam aturan agam Islam sendiri. Sebagian ulama ada yang berkata –
terutama kalangan sufi, bahwa nyanyian itu dapat melembutkan hati,
membangkitkan rasa sedih dan penyesalan terhadapa perbuatan maksiat, dan
membangkitkan rasa rindu kepada Allah. Oleh karena itu, mereka menjadikan media
untuk memperbahurui jiwa, menyegarkan, dan membangkitkan kerinduan Ilahi.
Mereka lalu berkata, “persoalan ini tidak dapat di pahamikecuali dengan perasaan,
penglaman dan latihan; ‘barang siapa merasakan, niscaya dia akan
mengerti’.tidak selamanya berita itu sebagai mana realitas yang terjadi”
(Qardhawi, yusuf,islam berbicara seni
2004:70).
Ibnu Zubair pernah berkata alat musik
juga sebagai alat menyeimbangkan akal, yang di karenakan pada manusia itu
memiliki keterbatasan dalam melekasanakan aktivitas sehari-harinya dan di dalam
ajaran agama Islam sendiri hiburan itu bersifat mubah (boleh) ,karena tiada
seorang pun yang dapat bertahan dengan keseriusan dan kegetiran memperjuangkan
kebenaran, kecuali para nabi (islam berbicara seni hal 86)11. Ali
bin Abi Thalib berkata “hiburlah hati sekali-kali, karena hati dipaksa terus
menerus dapat menjadi buta” Al-Adfawi berkata “para ahli riwayat tidak berselisih
pendapat dalam menisbatkan bolehnya memukul alt musik kepada Ibrahim bin Sa’ad”
(Qardhawi, yusuf ,islam berbicara seni 2004:91).
E.
Bentuk musikal
Lirik dan tema
1. Babak pembuka
Saleum
Pembuka pertunjukan merupakan hal yang sangt
utama bagi orang Aceh. Prilaku saling
menghormati secara keislaman serta basa-basi merupakan awal diskusi. Irama
Saleum (sapa-menyapa) dinyayikan sebagai penghantar penari masuk sekaligus
salam penghormatan pada penonton. Beberapa lagu yang biasa dinyanyikan adalah:
Assalamualaikom cut bang
payong dilem jak... (Assalamualaikum saudara datang dengan
bersusah payah untuk bertemu)
Atau
Assalamualaikom jamee baroee
troh... (Assalamualaikum tamu telah sampai)
Kalimat saleum merupakan kunci dari pertunjukan. Irama seorang
Seych yang merdu serta kalimat yang sopan akan membawa penonton menikmati
pertunjukan tersebut.
2. Babak Tema
Bak
saman
Sesi bak saman biasanya sebagai penyeteman
suara Syahi dengan pemain rapa’i sekaligus menentukan gerakan selanjutnya.
Irama lagu bak saman biasanya mengunakan satu huruf dan satu nada. Seperti
Iiiiiiiiii atau eeeeeee
Likok
Merupakan sesi atraksi mengiringi tarian.
Iringan irama lagu biasanya dimulai dari lambat hingga cepat. Biasanya sesi ini
seorang Syech melakukan improvisasi irama disaat kelompok melakukan tempo musik
cepat.
Saman
Saman merupakan nyanyian Syech dan diulang oleh grup. Ragam pantun/syair, berupa nasehat
maupun pantun jenaka muda-mudi di tampilkan
pada sesi ini.
Kisah
Kisah adalah menceritakan riwayat-riwayat
sambil menari. Riwayat-riwayat tersebut kisah para raja-raja, kisah
pemerintahan dulu maupun sekarang, penerangan agama, pendidikan, kisah
membangkitkan perjuangan dan sebagainya.
3. Babak penutup
Lani /
Ekstra
Lani ialah suatu irama terakhir dari
pertunjukan untuk menghibur penonton yang sejak tadinya telah penat mengikuti
adegan-adegan. Eksta atau Lani ini memegang peranan penting dan menentukan
dalam suatu babak. Lani atau ekstra merupakan Klimaks pertunjukan. Penentuan
klimaks ini merupakan bagian yang ditunggu-tunggu oleh penonton. Sehingga
Ketidak serasian tema antara likok, saman,kisah, dan ekstra/Lani akan
menimbulkan kesan bahwa syech dimaksud kurang baik dalam penampilan atraksinya.
Pola permainan Rapa’i
Pemain rapa’i memiliki komposisi pemain membagi
pukulan. Pemain yang memiliki Pola tersendiri memiliki penamaan seperti, bak
(dasar) di mainkan oleh syech, canang (dimainkan oleh apet wi dan neun), paso
(pengisi) di mainkan oleh satu orang yang bermain bergantian, dan rando
(peningkah).
Pola permainan rapai memiliki banyak varian
namun diantaranya terdapat pola yang dasar sperti pola
t .d dd
t atau d t d t
pola tersebut akan dibagi
Penutup
Kerajaan Aceh yang
mulai dikenal dari abad ke 12 masih dikenal dengan kerajaan Pasai. Walaupun
sebelumnya kerajaan aceh sudah di rintis oleh kerajaan peurlak sekitar tahun
840. Pada masa perjalanan kerajaan aceh yang terus mengalami Perluasan hingga
keujung pulau Sumatra bagian barat dan kerajaan aceh mulai mengalami
perpindahan kekuatan ke wilayah Banda Aceh. Disaat kerajaan Banda Aceh yang
sudah mulai mengalami kestabilan secara maksimal dan memasuki masa puncak
kejayaan. Sehingga kerajaan peurlak dan pasai tunduk di bawah kekuasaan banda Aceh
dan terjadi penyatuan akan
kerajaan-kerajaan besar tersebut maka
Aceh telah memiliki kekuasaan teroterial kerajaan dari ujung sumatra hingga
perbatasan Medan. Keberhasilan kerajaan Banda Aceh menyatukan suku-suku yang
ada di sekitar wilayah kerajaanya. Merupakan tonggak peradaban yang terus di
jaga hingga kini. Perjalan sejarah terus menerus diingat dan di perjuangkan
bagi setiap generasi muda aceh untuk mengulanginya kembali. Syech merupakan
seorang tokoh sentral dalam membangun peradaban Aceh. Penentuan memberikan syech
berdasarkan pengakuan, prilaku dan keilmuan dari masyarakat maupun diangkat
oleh para bangsawan atau raja.
KEPUSTAKAAN
Asy’arie, Musa.
1999 Filsafat Islam,
Yogyakarta:Lembaga Studi Filsafat Islam.
Darmawan,
Hendro. 2013. Kamus Ilmiah Populer.
Yogyakarta: Bintang Cemerlang.
Isjkarim.
1981 “Kesenian Tradisional Aceh”, hasil
lokakarya 4/8 januari di Banda Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kantor Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh,
Kuntowijoyo.
2006. Budaya dan Masyarakat : Edisi
Paripurna. Yogyakarta: Tiara Wacana.
K Haiti,
Phlilip. 2014, History Of The Arabs, terj.R. Cecep Lukaman Yasin dan Dedi
Slaemet Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Moehammad
Hoesin, 1970 Adat Atjeh. Aceh : Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Pov Daerah Istimewa Aceh.
Murtala. 2009. Yuslizar dan Kreasi yang Mentradisi. Banda
Aceh: No Goverment Individual.
Nettl, Bruno. 2012
Teori dan Metodologi dalam
Etnomusikologi. terj. Nathalian H.P.D Putra. Jayapura: Jayapura Center Of
Music.
Raji Al-Faruqi,
Ismail. 1999. Seni Tauhid: Esensi dan
Ekspresi Estetika Islam terj. Hartono Hadi Kusumo. Yogyakarta: Bentang
Budaya.
W.M, Hadi,
Abdul, Heurmeunetika, Estetika, dan
Religiusitas : Esai-esai Sastra Sufistik Dan Seni Rupa, Yogyakarta:
Matahari 2004.
Banda Aceh 16 Oktober 2020
Penulis : Rudi Asman, S.Sn.
Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra antara Indonesia dan dunia, (Jakarta: Pustaka Yayasan Obor Indonesia, 2011), 10:26.
Murtala, Yuslizar dan Kreasi yang mentradisi, (Banda
Aceh: No Goverment Individual,
2009),10-13.
Isjkarim.
1981 “Kesenian Tradisional Aceh”, hasil
lokakarya 4/8 januari di Banda Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kantor Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 2.