Kata “seni” merupakan yang berasal dari bahasa Melayu. Kata itu punya arti “halus”, “kecil”, “tipis “lembut”. Pengunaan dalam bahasa Melayu menyebutkan “air seni”, maka artinya air kencing. sebab hajat “ungkapan seni” berati buang air kecil alias kencing terkadang masih lazim digunakan pada bidang kedokteran. Kata “seni” yang kita pakai sekarang ini sebagai terjemahan dari “art” (Inggris) baru muncul pada tanggal 10 april 1935 dalam majalah kebudayaan Pujangga baru yang terbit pada tahun1933.[1]
kata “seni” berasal
dari konsep barat dalam sejarah kebudayaan barat sendiri pengertian “seni” itu
berubah-ubah sesuai dengan zamannya. Pengertian zaman Yunani berbeda dengan
pengertian seni dalam abad pertengahan. Berbeda pula dengan zaman awal moderen
barat. Yakni ranaissance, berbeda dengan zaman rasionalisme abad 17-18 ,dan
berbeda dengan zaman romantik abad IXX. Di abad IXX, kebudayaan barat
mengevaluasi kembali semua pengertian seni dalam sejarahnya.[2]
Masyarakat Indonesia modern mengadopsi pengertian “seni” dari barat. karena
pemahaman tentang “seni” di barat
sendiri juga mengalami perkembangan dalam sejarahnya, maka masyarakat modern Indonesia tidak mempunyai keseragaman dalam pemahaman
seni baratnya. Era jaman pujangga baru tahun 1930an misalnya, konsep seni
sastra modern mengacu kepada romantisme, tapi dalam seni lukis sudah mengacu
kepada ekspresionis, dan dalam teather masih berkutat pada “realisme
dardanella”. seni arsitektur art deco.
Seni bagian intelektual
manusia yang di tuangkan ke dalam suatu bentuk. Sebagai manusia yang memuliki intelektual
tentu kita punya etika intelektual pula. Seni yang memiliki intlektual Untuk
berbeda adalah salah satu etika kita. menghormati dan menghargai yang berbeda
dengan kita adalah etika. Kita tidak pernah semena-mena terhadap yang berbeda dengan
cara kita. Perbedaan itu kebebasan. Kalau ingin dihargai kebebasan kita, maka
kita harus menghargai kebebasan orang lain. Karya seni masa lampau yang berbeda
dengan kesenian kita itu selayaknya mendapatkan penghargaan pula. Maka, di
dalam seni mengaktualisasikan sesuatu yang berbeda memiliki hak prerogratif
seseorang. Tinggal kita melihat etika tersebut sesuai dengan norma yang berlaku,
terkhusus dalam peradaaban islam etika serta ketauhidan sangat menjadi
perhatian utama.
Bagaimana cara
menghargainya. Sikap untuk memahami hubungan antara teks seni itu dengan
konteksnya sendiri. Kita kembalikan benda-benda seni pada cara berfikir
masyarakat yang dahulu memproduksinya. Karena setiap benda budaya, termasuk
artefak seni, diproduksi masyarkatnya, karena punya fungsi dalam kehidupan mereka.
Fungsi seni bagi mereka mungkin sama sekali berbeda dengan seni buat kehidupan
kita di masa sekarang. Dengan demikian, pertama-tama kita harus mengetahui apa
fungsi benda yang kita sebut “seni” bagi masyarkat-masyarakat di masa lampau.
Fungsi seni itu masih
kita dapatkan hidup di tengah-tengah kita sekarang ini, karena masyarkat
pendukungnya masih ada. Apa yang kita sebut sebagai “seni tradisional” itu
masih di fungsikan sebagai dari bagian upacara “selawatan”. Dapat dipahami juga
seni itu merupakan acara itu sendiri. Karena fungsinya bagian dari adat, maka
simbol-simbol seni yang ada di dalanya tentu berhubungan dengan sistem religi
kepercayaan mereka. Langkah lebih lanjut adalah memahami sitem religi mereka
itu. Dari mana kita dapatkan. masyarakat yang masih memfungsikanya, atau dari
artefak seni itu sendiri dengan cara membandingkanya dengan artefak yang lain
dari konteks budaya zaman yang lain
benda seni Memang tidak
semuanya berfungsi relegius. Banyak benda-benda seni untuk kepentingan sekuler
pula. Yang membedakan hanya proses pembuatannya saja. Benda-benda seni yang
dipergunakan untuk upacara ternyata mempunyai proses pembuatan yang sifatnya
juga ritual. Sedang benda-banda yang sama untuk kepentingan sekuler tidak
diproses dengan upacara. Karena bentuknya sama, maka kita dapat membaca
simbol-simbol religi pada seni upacara, maupun seni sekulernya. Pemikiran
religius ini disusun dari mitos-mitos, penciptaan semesta mereka, bangunan
rumah mereka, ragam hias tenun mereka, upacara-upacara adat, susunan
perkampungan mereka, hukum adat mereka, perahu, alam tinggal mereka, iklim dan
kesenian mereka, baik seni rupa, seni musik ,teather dan sastra. Semakin banyak
artefak yang dapat dikumpulkan, semakin lengkaplah kemungkinan rekontruksi
bangunan ideal-rasional mereka tentang makna hidup ini.
Jacob sumardjo menggambarkan Masyarkat pengguna benda-benda
seni teradisional itu jauh berubah cara berpikinya dengan benda-benda seni yang
mereka warisi dari nenek moyangnya. Benar, mereka masih memfungsikan
benda-benda itu secara tradisional. Tetapi, sistem pengetahuan tradisionalnya
telah lama hilang bersama waktu. masyarakat moderen Indonesia memang berbeda
sekali dengan nenek moyang kita yang pra-modern. Pola berpikir yang digunaka secara
ontologis, selalu membuat jarak dengan objek pengetahuan kita. Pengetahuan bagi
kita adalah pengetahuan yang dapat dibuktikan dengan secara empiris dan secara
rasional-logis. Sedangkan epistimologi indonesia pra-modern tidak membedakan
adanya dualisme objek-subjek. Manusia bukan bagian terpisah dan dalam posisi
menghadapi apa saja yang berada diluar dirinya disebut subjek. Fikiran
pra-modern adalah pemikiran totalistas-holistis yang menyamakan subjek dengan
objeknya. Manusia itu hanya bagian saja dari alam dan semua yang ada. Mikro kosmos
manusia itu adalah makro kosmos semesta dan bagian puladari sebuah meta kosmos.
Inilah cara berfikir monistik. Segalanya adalah tunggal
Pengetahuan tertinggi
manusia Indonesia pra-moderen itu pengetahuan memiliki penyatuan dengan
totalitas. Maka, dengan sendirinya ini bersifat sangat subjektif berdasarkan
keyakinan,iman itu mendahuli pengatahuan. Siapa mengimani akan mengalami, dan
yang mengalami akan mengetahui. Itulah sebabnya laku mendahului ilmu, atau ilmu
ini terjadi lewat laku atau perbuatan, dan pengalaman, yang dimaksudkan adalah
pengalaman mistis, penyatuan dengan hakikat ada. Sedangkan kita manusia modern
pertama-tama menjawab partanyaan “apa”, “objek pengetahuan” harus dapat dicerna
oleh akal dulu. Baru dapat melanjutkan “bagaimana”-nya “apa” itu, dan akhirnya
mencari pengetahuan tentang “mengapa”nya “apa” tadi. Dalam pikiran primodial Indonesia,
pengetahuan serupa ini hanya tingkat dua setelah epistemilogi. Intelektual
sejati masyarakat pra-modern Indonesia adalah orang-orang yang telah mencapai
pengalaman dan pengetahuan ide secara imajinasi. Ulama, syech, empu, pujanggga,
utoh, adalah pemilik pengetahuan sejati, jadi puncak intelektualitas telah
melekat pada mereka.
Benda-benda seni
tradisional itu mengandung aspek-aspek ideal-irasionalnya pula yang berupa
pola, dan struktur. Pola semacam ini pula muncul dalam karya seniman Amerika,
Paul Klee, yang pada tahun 1924 mengumumkan gambar pohon yang mengambarkan
transformasi pencipataan, berangkat dari nature
menuju culture , yang bisa terjadi di
bidang apa saja, termasuk seni ukir rumah Aceh, rencong, atau kupiah meuketop
yang juga merupakan struktur transformasi secar religius, yakni bagaimana
seorang manusia dapat mentranformasi diri menuju tingkat-tingkat rohani
monistik atas.
Kata
seniman yang dipahami pada era moderen merupakan orang yang memiliki karya,
beserta orang yang dibutuhkan dan juga dianggap orang marjinal di dalam
masyarakat. pandangan masyarakat dengan seorang seniman yang memiliki gaya nyeleneh,
rambu gondrong, hingga kata-kata yang tidak dimengerti, melekat pada masyarakat
Aceh. Profesi seniman memiliki nilai tawar yang sangat rendah dalam kedudukan
masyarakat Aceh. Adanya seperti pengasingan diri terhadap antara seniman dan
masyarakat aceh, akan tetapi seniman orang yang diperlukan sebagai bagian dari
menghibur kepenatan atau kegundahan mereka pada kesehariannya. Perhatian posisi
seniman juga tidak menjadi bagian yang diberdayakan oleh pihak pemerintah
sebagai upaya peningkatan mutu pariwisata Aceh serta pengetahuan.
Edukasi
seni di dalam masyarakat Aceh memiliki fase yang sangat lambat dan terabaikan. Seperti
yang telah dijadikan tolak ukur pada era glaobalisasi ini seni merupakan bagian
suatu pradaban intelektual. Sehingga beberapa seniman mencoba untuk mengikuti common sense (logika) industrial atau
mengcover musik-musik yang di luar dari etika ke-Acehan. Seni yang berkembang
di Aceh pada era ini telah memasuki sikap profan tidak ada keterkaitan dengan
spiritualitas. Hal ini, sangat menghawatirkan pada generasi Aceh kedepannya.
Seniman
merupakan kepribadian yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Karena, seni itu
berasal dari kata halus atau kecil, maka setiap orang yang telah yang telah
melakukan aktifitas tersebut telah di sebut dengan seniman. Namun ada beberapa
ketentuan yang perlu di sepakati tinggkatan sebagai seorang seniman murni atau
terinfluens dalam dunia seni. Terlalu sangat merugikan untuk mengasingkan
seniman di dalam masyarakat. karena apabila seni tidak melekat pada seseorang
maka akan terjadi ketidak seimbangan antara sikap dan prilaku. Kekakuan serta
kekerasan dalam menjalani hidup. Sudah saatnya seni melekat pada masyarakat Aceh
agar para seniman dapat tumbuh subur di aceh dan membumikan seniman. Seniman bukanlah
orang yang sangat suci yang memiliki gelar yang sangat berat ataupun orang yang
sanga terasing, melainkan seniaman orang yang dapat menuangkan imajinasi denga intelektualnya
ke dalam suatu karya. Selain dari itu juga dapat memperindah khasanah
perkembangan pembangunan Aceh kedepanya. Namun, tidak luput dari nilai-nilai Islami
serta memberikan inspirasi yang membangun. Seniman tanpa masyarakat tak
berharga namun masyarkat tanpa seniman akan tersa hambar.
Wallahu'alam Bissawab.
Penulis: Rudi
Asman, S.Sn.
DAFTAR
PUSTAKA
Ismail Raji Al Faruqi, Seni
tauhid Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, Yogyakarta: Bentang Budaya.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat : Edisi Paripurna.
Yogyakarta: Tiara Wacana
Sumardjo, Jacob. 2006. Estetika Paradoks. Bandung : Sunan Ambu
Press
[1] lihat karangan
Paul Oskar Kristeller, “the modern system of the art” dalam buku W.E. kennick,
art and philosophi: reading in Aetethics (New York St. Martin’s Press, 1979).
Ia menunjukan parkembangan apa yang disebut seni dalam masyarakat barat, mulai
dari yaunani konosampai pda abad 20. Ada garis tetap yang di pertahankan
[2] pada tahun
1936, sultan takdir Alisjahbana, dalam majalahnya pujangga baru menulis sajak
berjudul “sesudah dibajak”, yang bait pertamanya berbunyi sebagai berikut.
Aku merasa
bajakMu menyayat
Sedih seni
mengiris kalbu
Pedih pilu jiwa
mengaduh
Gemetar mengigil
tulang seluruh
.