Instrumen tiup telah dikenal dan digunakan sebagai alat untuk memuliakan tamu ke negaraan
yang datang ke kerajaan Bandar Aceh Darussalam dan hari-hari besar Islam.
Anthony Reid menjelaskan dalam bukunya Menuju
Sejarah Sumatra Antara Indonesia dan Dunia perayaan upacara awal bulan
puasa dan idul fitri dilaksanakan dengan cara iring-iringan rombongan kerajaan
ke mesjid menggunakan bunyi-bunyian gegap gempita dan tembakan senjata di
sekitar istana untuk memulai atau mengakhiri puasa. Tahun 1600, Frederick de
Houtmen mencatat pada awal puasa 29 sha’ban
kaum bangsawan datang ke istana mengenakan pakaian yang terindah. Rombongan
bangsawan tersebut diiringi dengan gendang ditabuh serta terompet ditiup
perayaan terhadap raja (1604-1671) menuju mesjid juga menggunakan iring-iringan
serta rombongan para bangsawan. Iring-iringan tersebut dengan suara hiruk pikuk
barbagai alat musik seperti terompet, seruling, tambur, dan simbal. Pelaksanaan
pertunjukan suatu perayaan kerajaan Aceh melakukan arak-arakan, dalam
pelaksanaan tersebut terdapat terompet, gendang, panji-panji, dengan banyak
orang, untuk mengiringi jendral (Inggris) ke istana sehingga banyak orang
sangat berdesak-desakan. Terompet yang digunakan dalam pelaksanaan tersebut
hingga kini belum dapat dipastikan sebagai serune
kalee. Namun, serune kalee telah
digunakan pada masa peperangan Aceh dengan Belanda. Alat tersebut telah
digunakan dalam pelaksanaan upacara iring-iringan pernikahan.
Menurut budayawan Firdaus Burhan (Alm)
menjelaskan keberadaan Instrumen serune
kalee menyatakan tentang serune kalee
sebagai berikut.
“Peralatan
musik ini (serune kalee) tidak hanya
digunakan oleh masyarakat Aceh, namun juga masyarakat Minangkabau, Agam, dan
beberapa daerah lain di Sumatra Barat. Bahkan, persebaran perlengkapan ini
mencapai Thailand, Srilanka, dan Malaysia. Alat musik sejenis ini juga didapati
di daerah pesisir dan lain dari Provinsi Aceh, seperti Pidie, Aceh Utara, Aceh
Besar, dan Aceh Barat dengan sebutan serupa.
Masing-masing daerah yang menggunakan musik jenis ini memberi berbagai
macam variasi pada peralatan tersebut sehingga bentuk dan namanya juga
bermacam-macam. Namun, di antara beberapa variasi serune terdapat kesamaan dalam nuansa suara yang dimunculkan, laras
nada, vibrasi, volume suara, dinamika suaranya.”
Keberadaan serune kalee diduga diperkenalkan dari penyebaran agama Islam.
Namun, sumber yang menyatakan klaim akan instrumen tersebut berdasarkan kisah
para kelompok tarekat Islam yang memperkenalkan serune kalee. Berdasarkan data yang ada, peralatan ini sudah ada
sejak masuknya Islam ke Aceh. Menurut Z.H Idris (Alm) menyatakan sebagai
berikut. Aceh pada zaman dahulu merupakan kerajaan yang terbuka. hal tersebut,
menjadikan Aceh cukup ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai wilayah
di luar negeri. Zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Aceh
mempunyai posisi penting. Kebudayaan di Aceh pada masa ini juga berkembang
dengan pesat, salah satunya adalah bidang kesenian, dengan corak Islam yang
kental.
Seniman serune kalee pada saat ini masih tergolong sedikit, faktor
kesulitan pembelian alat yang telalu mahal hingga kurangnya referensi musikal
untuk dapat mengolah serune kalee
menjadi bagian garapan baru. Karya musik yang ada saat ini hasil dari para
tokoh-tokoh. Tokoh seniman serune kalee
pada saat ini dikenal dengan dua karakter. Pertama seniman yang masih memainkan
lagu serune kalee hasil dari kelompok
kampung Pande. Kedua seniman yang mengetahui atau menguasai keragaman materi musik
serune kalee namun bermain pada
wilayah musik garapan serune kalee.
Seniman serune kalee pada tahun
1970-an dikenal orang-orang yang berdomisili di desa Kampung Pande Banda Aceh.
Walaupun, ada juga seorang seniman serune
kalee bertempat tinggal di desa Rima Banda Aceh. Kedekatan pemain serune kalee desa Kampung Pande
dengan sanggar Pendopo Provinsi Aceh menjadikan mereka dikenal sebagai tokoh
seniman serune kalee. Dua tokoh besar
dari desa Kampung Pande di antaranya adalah Abdullah Raja dan Ismail Sarong (B
Ma’e) yang masih memiliki keturunan persaudaraaan dan Ceh Labo’ dari Desa Rima
dikenal sebagai tokoh seniman individu. Ketiga tokoh dikenal oleh masyarakat ini
lebih sering menggarap musik serune kalee
dengan suasana India atau irama-irama lagu-lagu Aceh, karya-karya musik mereka
hingga kini masih dikenang. Musik serune
kalee pada masa 1970-an lebih dikenal dengan mudah dikarenakan irama dan
melodi yang diciptakan tidak rumit untuk didengarkan, selain dari itu juga
musik serune kalee yang dibawakan
dapat membuat suasana lebih khidmat, sehingga iring-iringan tersebut dapat
merasakan kesakralan serta kemeriahan pada hari pelaksanaan intat linto baro.
Berdasarkan penjelasan di atas, instrumen
tiup telah digunakan oleh masyarakat Aceh dari masa kerajaan. Namun, penamaan
instrumen tersebut belum mendapat penjelasan secara pasti oleh masyarakat Aceh.
Penamaan serune kalee yang sampai
saat ini telah mendapat penjelasan dan telah dikenal pada saat Islam masuk ke
Aceh, serta intrumen tersebut telah digunakan dalam berbagai aktifitas
masyarakat Aceh. Serune kalee
mengalami perkembangan dimulai dari
tahun 1970 hingga kini.
Anthony Reid, Menuju
Sejarah Sumatra Antara Indonesia dan
Dunia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), 120-123.
[1]Moehammad
Hoesin, Adat Atjeh (Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prov
Daerah Istimewa Aceh, 1970), 28.
[1]Mujibur Rohman, “Serune Kalee Alat Musik Tradisional Aceh”
http://melayuonline.com
diunduh 17 Juni 2016, lihat juga di dalam skripsi Anton Setia Budi hal
24.
[1]Mujibur Rohman “Serune Kalee Alat Musik Tradisional Aceh”
http://melayuonline.com
diunduh 17 Juni 2016.
[1]Wawancara dengan Muhammad Rijal
tanggal 10 April 2016 di rumahnya, diijinkan untuk dikutip.
[1]Wawancara dengan Muhammad Rijal
tanggal 10 April 2016 di rumahnya, diijinkan untuk dikutip.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar