Ranub (sirih)
merupakan suatu simbol yang sangat penting bagi masyarakat Aceh. Ranub pada era lampau hingga 70an
sebagai bagian yang dimakan juga sebagai tanda pehormatan. Ranub biasanya disuguhkan pertama sekali di saat seseorang bertamu
ke rumah orang lain, penyajian ranub
sebagai tanda pemilik rumah bersedia menjamu tamu yang datang ke rumahnya. ranub disajikan sebagai pembuka pembicaraan
setelah tamu di persilahkan masuk dan duduk. Selain dari itu, Ranub juga
digunakan sebagai tanda pengikat janji. Hal ini yang masih dilakukan di saat
prosesi perkawinan. Seorang laki-laki yang akan melamar seorang perempuan akan
membawa keluarga serta perangkat desa sebagai kesungguhan laki-laki tersebut ingin
mengawininya secara sah. Salah satu bawaan yang diberikan adalah ranub di
taruh dalam cerana beserta dengan cincin emas seberat 2 mayam. Adat ini disebut dengan pekong haba (mengikat
janji).
Ranub juga digunakan
di saat seorang linto baro (Pengantin
laki-laki) yang berkunjung ke rumah dara
baro (pengantin perempuan). Ranub
di tempatkan pada rombongan barisan kedua. Bagian ini merupakan para tokoh adat
ureung inong. Ureung inong berperan terdiri dari beberapa orang tokoh adat
perempuan yang membawa batee ranub
(cerana), setiba di depan pintu masuk rumah dara
baro akan melakukan penyerahan prosesi penyerahan batee ranub (cerana).
Setyantoro mengemukakan bahwa budaya
makan ranub hidup di Asia Tenggara
khususnya Aceh yang terletak di Indonesia. Pendukung budaya ini terdiri dari
berbagai golongan, meliputi masyarakat bahwa pembesar negara, serta kalangan
istana.[1] Budaya sirih
telah dilakukan dari masa silam, lebih dari 3000 tahun yang lampau, hingga saat
ini. Apabila kita menengok masa lalu, orang tua Aceh mempunyai tradisi “makan
sirih” atau “menyirih”.[2]
Namun,
dalam pelaksanaan upacara intat linto
sebagai perlambangan menukar barang bawaan sebagai ikatan persaudaraan. [3]
Ranub yang di dalamnya berisi biji pinang,
gambir dan sedikit kapur ranub
diyakini mampu memperkuat gusi pada gigi. Masyarakat Aceh meyakini ranub memiliki nilai yang tinggi dan berperan
penting khususnya pada upacara pertunangan dan perkawinan pada masyarakat Aceh.[4] Selain dari itu
juga dapat menjaga kesehatan tubuh.[5]
Ranub merupakan hal
yang sangat penting bagi masyarakat Aceh. Pentingnya ranub dalam kehidupan sehari-hari diaktualisasikan di dalam bentuk syair
Aceh.
“Asalammualaikum
jame baroe troh tamong jak piyoh duk ateuh tika.
Salaeum kamoe bri bapak neusambot bek neduek
ulua tika.
Mulia mulia wareh ranub lampuan mulia mulia
rakan mameh suara.
Ranub kamoe bri bapak neu pajoh hana kamo boh racon
ngon tuba.
Arti dan makna syair di atas sebagai
berikut.
(Asalammualaikum tamu telah sampai
silahkan masuk ke dalam rumah dan duduk di atas tikar yang telah kami sediakan.
Makna yang terkandung dalam syair di atas Asalammualaikum merupakan salam yang
disampaikan seseorang kepada yang sedang bertemu atau tamu ke tempat seseorang,
serta mempersilahkan para tamu untuk masuk ke dalam rumah yang telah kami
persiapkan dan menjamu kedatangan anda (tamu) dan duduk di atas tikar sebagai
tanda keiklasan kami menerima anda di rumah kami.
Salam yang kami sampaikan wajib dibalas
dan jangan duduk di luar pekarangan rumah. Salam yang di sampaikan merupakan
hal yang wajib hukumnya dalam Islam untuk menjawab wa’alaikum salam hal
tersebut merupakan perintah agama. Tamu bagi orang Aceh sangat di muliakan
sehingga apabila berlama-lama berdiri di depan pintu menjadikan aib bagi pemilik
rumah yang di kunjunggi.
Memuliakan saudara (tetangga) dengan ranub dalam cerana memuliakan tamu
dengan suara lemah lembut. Menyajikkan ranub
dalam cerana merupakan salah satu memuliakan tamu dan sanak saudara, beserta
bertutur sapa dengan lemah lembut agar kenyamanan dapat dirasakan selama
berkunjung.
Ranub yang kami
sajikan silahkan bapak-bapak (tamu) cicipi tidak kami taruh racun dan meracuni
hadirin sekalian. Ranub yang telah
disajikan janganlah berprasangka ada racun atau pemilik rumah untuk meracuni
tamunya silahkan menikmatinya suguhan pemilik rumah dan jangan khawatir akan
keberadaan anda (tamu) kami jamin akan keselamatan serta pelayanannya.
Ranub bagi orang Aceh memiliki peran yang penting sebagai menyampaikan suatu pesan. hal tersebut, merupakan sebagai bahasa non verbal yang digunakan sebagai penganti kata-kata yang banyak. Ranub sebagai bahasa simbolik yang sangat kuat agar maksud dan tujuan yang dimilikinya dapat dipenuhi oleh orang lain. suatu kondisi yang mengguanakan ranub sebagai tanda komitmen seseorang serta siap menjalankan sesuatu sesuai dengan adab masyarakat Aceh. selain dari itu, ranub juga di kaitkan dengan kesan etika serta pengetahuan Islam.
[1]Setyantoro
seperti dikutip oleh Rina Muslimah, “Proses Pembuatan Ranub Kreasi pada Masyarakat
Aceh saat Intat Linto dan Tueng Dara Baroe di Tanjung Selamat Darussalam Aceh
Besar”, dalam Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Unsyiah Volume 1, Nomor 1:84-92 Februari 2016 https://media.neliti.com diunduh 10 Juni
2018.
[2]Rina Muslimah, “Proses
Pembuatan Ranub Kreasi pada Masyarakat Aceh saat Intat Linto dan Tueng Dara
Baroe di Tanjung Selamat Darussalam Aceh Besar”, dalam Jurnal Ilmiah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan
Musik Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unsyiah Volume 1, Nomor 1:84-92
Februari 2016 https://media.neliti.com diunduh 10 Juni
2018.
[3]Wawancara dengan
Badruzzaman Ismail tanggal 08 Mei 2018 di Kantor Majelis Adat Aceh, diijinkan untuk dikutip.
[4]Yusuf seperti dikutip
oleh Rina Muslimah, “Proses Pembuatan Ranub Kreasi pada Masyarakat Aceh saat Intat
Linto dan Tueng Dara Baroe di Tanjung Selamat Darussalam Aceh Besar”, dalam Jurnal Ilmiah Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Unsyiah Volume 1, Nomor 1:84-92 Februari 2016 https://media.neliti.com diunduh 10 Juni
2018.
[5]Wawancara dengan
Badruzzaman Ismail tanggal 08 Mei 2018 di Kantor Majelis Adat Aceh, diijinkan untuk dikutip.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar