Arsip Blog

Jumat, 16 Oktober 2020

Pengaruh Syech dalam Kebudayaan Musikal Tunang Rapa’i Aceh



Syech menjadi konsep pertunjukan Kesenian Rapa’i Aceh. Rapa’i merupakan instrumen ritmis yang dimainkan secara berkelompok serta  harus mengikuti tanda-tanda tertentu dari syech untuk mengubah dari satu bentuk  musik ke bentuk yang lain. Kebiasaan masyarakat Aceh memperlombakan rapa’i disebut dengan tunang. Sehingga, pergerakan musikal sangat tergantung dari kesuksesan seorang syech mengatur ritme musikal dan ketahanan fisik anggota yang dipimpinnya. Penelitian ini mengunakan pendekatan Etnomusikologis. Kajian Etnomusikologi menurut Alan P Meriam sasaran utamanya  adalah musik dilihat sebagai gejala Manusia, dia diamati dengan tiga tingkatan analisis : Konseptualisasi tentang musik, Tingkah Laku Dalam hub, dan Suara musik Sendiri. Kesenian Aceh yang sangat erat dengan serapan budaya keislaman dan budaya Timur Tengah. Serapan budaya tersebut mempengaruhi akan kognitif, etika, epistimologi hingga spirit baru. Sehingga prilaku masyarakat Aceh banyak diselasaikan dengan cara-cara pendekatan budaya. Dengan mengunakan pendekatan metoda tafsir untuk mengetahui kondisi mental masyarakat Aceh menapaki peradaban zaman. Dari bentuk kesenian Aceh yang telah mengalami perubahan, persingungan, hingga penghilangan karakter awal. Maka dengan ini kita akan mengetahui kelahiran budaya tersebut, perjalanan kebudayaan, serta perkembangan budaya tersebut.

Kata kunci: syech, budaya musikal, tunang, rapa’i, tafsir.  

 

I.       Pendahuluan

Meunyoe sue rapai ka pirah prang wajeb neu piyoh (jika suara rapa’i telah berhenti perang wajib dihentikan). Kalimat semboyan tersebut selalu diucapakan oleh para pemain rapa’i. Kalimat yang sangat dikenal tersebut menjadi peran musikal menentukan jalanya permaian rapa’i. rapa’i bukan sekedar bunyi yang mengelegar dan penyemangat untuk mengobarkan perlawanan di medan perang. Akan tetapi menjadi sebuah bentuk kesadaran untuk selalu bersatu di dalam barisan, serta memeparjuangkan ketaatan.

            Rapa’i merupakan instrument diklasifikasikan sebagai instrument Membranofone. rapa’i dimainkan dengan cara ditabuh dengan mengunakan tangan kanan dan dimainkan dengan kondisi duduk bersila. Kesenian rapai memiliki ragam-ragam pertunjukan seperti rapa’i lipek, rapa’i bruek, rapa’i pasee, rapa’i daboh, rapa’i shalawat, rapa’i pulot dan masih banyak lagi. Secara keseluruhan kesenian rapa’i merupakan peninggalan dari kelompok tarekah yang menyebarkan Islam dengan pendekatan kebudayaan. Permainan rapa’i merupakan kombinasi antara pola ritmis yang jarang-jarang dan lirik vokal yang sarat akan pesan-pesan keislaman. Sehingga kesenian rapa’i dipertunjukan pada acara-acara maulid nabi, khitanan, kenduri kampung, perayaan hari-hari besar Islam, dan perlombaan antar kampung dengan dimainkan hingga semalaman suntuk. Namun hingga kini, kesenian rapa’i masih dipergunakan oleh masyarakat Aceh sebagai iringan tari-tarian. Memasuki abad 19an banyak garapan baru kesenian rapa’i tidak mengunakan syair lagu untuk menarik perhatian penonton. 

Kajian Etnomusikologi menurt Alan P meriam mengutamakn Objek studi. Sasaran utamanya  adalah musik dalam arti yang paling luas dan dilihat sebagai gejala Manusia, dia diamati dengan tiga tingkatan analisis : Konseptualisasi tentang musik, Tingkah Laku Dalam hub, dan Suara musik Sendiri. Rahayu Supangah menyataka “Tanpa konsep tentang musik, tingkah laku tidak akan ada, Tanpa laku suara musik tidak akan dihasilkan”. Sistem kepemimpinan merupakan ciri khas yang sangat diterima oleh seluruh kalangan rakyat Aceh menjadikan konsep yang selalu diterapkan di setiap aktualisasi aktivitas bermasyarakat. Kepemimpinan bagi rakyat Aceh sangat berarti. Seperti diungkapkan oleh Jacob Sumardjo tipikal masyarakat pola empat lebih mengutamakan Kebebasan individu dan kebebasan kelompok mendasari hidup bersaing dalam memperebut kekayaan laut. Persaingan dan peperangan merupakan bagian cara hidup mereka. Maka di setiap elemen kegiatan akan selalu di pipimpin oleh seorang syech. Agar segala permasalahan sebelum terjadi atau terjadinya permaslahanan tersebut dapat cepat diselesaikan dengan baik.

kajian untuk mengenai syech menjadi posisi sentral dalam sebuah pertunjukan masih belum di temukan secara lengkap di lapangan maupun di perpustakaan aceh. Sosok syech. Penerapan konsep kepemimpinan di segala elemen aktivitas sosial tersebut dibawa hingga kedalam bentuk musikal tunang rapa’i. Maka didalam tulisan ini akan menjelaskan mengapa kesenian rapa’i mengunakan syech di setiap pertunjukan musikal dan Bagaimana  para Syech tersebut melatih kemampuan musikal grupnya.

A.    Sejarah Aceh

Aceh merupakan bagian dari provinsi yang berada di kepulauan Sumatra. Sumatra adalah sebuah perbatasan. Bagi peradaban-peradaban lama yang berada disekeliling Samudra India, pulau itu merupakan pulau kaya raya penuh rahasia Timur-Suvarna-Dvipa, “Tanah Emas” pengawal gerbang menuju semua harta Asia Tenggara, hampir tidak pernah sepanjang sejarah mereka di bawah bimbingan kerajaan-kerajaan yang kuat. Orang Sumatra tidak segan mengakui bahwa mereka kurang berbudaya di bandingkan dengan orang Jawa kelas atas, tetapi dengan cepat mereka akan menambahkan bahwa mereka lebih eligater, lebih berjiwa wirausaha dan mandiri.

Pulau ke enam yang terbesar di dunia, lebih dari dua kali dari pada Inggris dan Honshu, Sumatra baru-baru ini saja, sejak 10.000 tahun yang lalu, terpisah dari daratan Asia (dan Jawa dan Borneo). Bagian Barat pulau itu di dominasi oleh barisan pegunungan, Bukit barisan, yang terbentuk akibat perbenturan Lempeng India yang bergerak ke Utara dengan daratan Asia sejak 60 juta tahun yang lalu.[1]

Pendapat Krom bahwa berhasilnya Samudra atau Sumatra di pakai sebagai seluruh pulau itu karena ada kaitan dengan istilah lebih tua dari bahasa sanskerta, Suwarna-Bumi (Tanah Emas), yang sudah dilekatkan kadang-kadang pada pulau Sumatra, khususnya sebuah tulisan  Singgasari pada 1286. Para penulis abad 19 mungkin benar ketika mengatakan bahwa Sumatra waktu itu “tidak memiliki nama yang mudah di ingat penduduk”. Seperti dijelaskan seorang penjelajah perancis yang berpengalaman:

Jika kita tanya seorang Sumatra asli apa nama yang di berikanya untuk pulaunya, sulit untuk menjelaskan  kepada dia  apa yang kita maksud. Ia tahu ada pulau-pulau ,banyak sekali, suku-sukunya beragam, bahasa-bahasanya tidak terhitung, bagi dia sebuah dunia tersendiri

Mereka memperkokoh ingatan turun temurun rakyat Aceh bahwa puncak kekuasan dan kekayaan kesultanan tercapai di bawah Sulatan  Iskandar Muda (1607-1636). Priode ini merupakan masa ke jayaan Aceh serta salah satu kekuatan-kekuatan penting di Asia, dengan kekuasan terbentang jauh hingga Tiku dan Pariaman (dekat kota Padang sekarang) di Sumatra Barat.[2]

Era zaman purba daerah ini dikenal dengan nama Seroja. Menurut bahasa, Aceh termasuk pada Deutro Melayu. Orang Aceh juga disebut orang Mantir (Monte) yaitu orang Aceh yang hidup di Rimba Raya. Orang-orang Monte bebadan agak kecil dari orang Aceh yang ada sekarang.mereka adalah pendatang dari India, Andamen dan Nicobar.

Abad ke-8 daerah Aceh dikenal dengan nama Rami (Ramni) sedang orang Cina menamakan derah ini dengan logat Lan-Li atau Lan-Wu atau Nan_Wu-Li dan juga Lan-Poli padahal yang sebenarnya adalah Lam Muri, sedangkan dalam sejarah Melayu daerah Aceh disebut dengan nama Lambri atau Lamiri.

Begitu pula dengan orang Italia, orang Arab menyebutnya dengan Ashi, Dacin,atau Dachen. Orang Perancis menyebutnya dengan Achem, Achin  ada juga yang menyebut dengan Acheh. Bangsa Inggris menyebutnya dengan logat sendiri Atcheen, Acheen atau Achin.orang-orang Belanda menyebut dengan  nama Achem, Atchein, Etchin, Acin, Athes dan Aceh.[3]

Perjalana kerajaan Aceh memiliki hubungan pemerintahan yang sangat dengat dengan Negara bagian Timur Tengah. pada masa tersebut kepemimpinan Islam di pegang penuh oleh Negara Turki. Dalam hubungan pemerintahan ini merupakan kesamaan visi terhadap peraturan negara yang di kelola secara Islam. Ada kemungkinan Kerajaan Aceh menjadi tumpuan penyebaran Islam yang berada di sentra Nusantara. Pelaksanaan pemerintahan secara Syari’ah Islam menjadikan warna tersendiri bagi kerajaan-kerajaan Aceh pada masa tersebut, yang dikarenakan pada masa Abad 12 hingga 18 merupakan masa perdagangan dan kependudukan negara-negara adigdaya seperti Inggris, Belanda, Portugis. Sehingga banyak litertur sejarah menyatakan Sumatra merupakan pintu strategis dalam pusat perdagangan serta sekaligus mengali kekayaan alam yang sangat melimpah di sediakan oleh alam sekitarnya.

B.     Konsep kebudayaan Aceh

Adat ngoen Hukom hana tom tjre, Adat ngon hukom lage dzat ngon sifeut (adat dengan hukum tidak pernah berpisah, Adat dengan Hukum seperti Dzat dengan Sifat). Kalimat  tersebut diucapkan oleh para raja-raja Aceh pada masa kepemimpinannya. Kalimat yang di dengungkan tersebut sebagai sarana pengarahan bagi masyarakat Aceh. Kehidupan dan penghidupan masyarakat Aceh yang bersendi adat dipimpin oleh sultan dan hukum dipimpin oleh para ulama. Adat merupakan wujud tata cara yang wajib dilakukan sebagai prilaku ketaatan. Serta adat tersebut selaras dengan hukum agar dapat mengikuti pedoman ajaran Agama Islam. Hukum merupakan ketetapan yang tidak bisa di tawar lagi. Adat Aceh pada masa kerajaan Sultan Iskandar Muda ditata kembali agar berkesusuai dengan hukum yang diterapkan. Hukum yang dimaksud adalah hukum Syariat Islam berdasarkan al qur’an, hadis nabi, ijmak (kesepakatan ulama), dan qiyas (mengunakan akal disaat terdapat hukum yang belum diketahui keputusannya).

Kesadaran kognitif tersebut dibagun tersebut agar ke-Islaman yang menjadi keiman masyarakat aceh dapat  terjaga. Adat kebiasaan mereka yang tumbuh sebelum Islam, mereka sesuaikan dalam kehidupannya sesudah mereka masuk Islam; yang tidak berlawanan dengan ajaran agamanya yang baru (Islam) mereka terus memakaianya, sementara yang berlawanan atau tidak cocok, mereka tingalkan berangsur-ansur.[4] Pengunaan ajaran Islam sebagai pedoman hidup masyarakat Aceh, agar ajaran tersebut bagi kehidupan manjadi kebahagiaan dunia dan akhirat. Kata ada bagi masyarakat Aceh di golongkan dalam kebudayaan. Umat Islam kebudayaan merupakan terikat dengan etika.  Sehingga, kebudayaan dalam artinya sebagai kata kerja atau sebagai proses. Kebudayaan sebagai proses berpusat pada pikiran dan hati manusia. Kebudayaan dapat pula disebut sebagai aktivitas pemikiran. tahap ini manusia, kebudayaan adalah usaha dan upaya manusia menjawab tantangan yang di hadapkan kepadanya. Dengan kata lain Pertemuan konsep kebudayaan para di bawa kaum muslimin memasuki masyarakat Aceh di dalamnya terdapat sub adat menjadi pondasi untuk membangun peradaban Aceh.

Kata Islam, semantik berasal dari akar kata salima artinya menyerah, tunduk dan selamat. Kesadaran manusia yang memiliki keterbatasan dalam segala hal dan sesuatu. Baik dari keterbatasan jangkauan pemikiran hingga kekuatan menjadi hal yang harus dikembalikan kepada menciptakan manusia. Manusia yang memiliki indra dan akal sebagai pengamatan awal mengetahui objek yang ada dialam ini sangat tertata dengan baik. Maka, akal mencerna ada sesuatu yang mengatur alam semesta agar terjadinya keseimbangan antara alam dan manusia. Sehingga disaat islam diperkenalkan oleh masyarakat Aceh dapat menyelesaikan problema pokok ini dan dipecahkan untuk cara manusia dengan cara yang sesuai dengan fitrahnya, memuaskan akal, serta memberikan ketenangan jiwa. Lebih jauh ajaran Islam juga mengenalkan akan kehidupan hari berikutnya yang kekal. Kehidupan setelah kematian dan Bukan untuk hidup di bumi kembali.

Kehidupan bagi seorang muslim merupakan cobaan atau ujian untuk menghadapi hari esok. Hari kemudian harus dipahami dilewati dengan prilaku beribadah kepada Sang Pencipta Alam Semesta, Raja Manusia, dan Yang Maha Esa. Sifat-sifat yang telah diperkenalkan tersebut adalah tuhan. Bagi umat Islam disebut dengan Allah Subhana wa ta’ala (SWT). Hal-hal ibadah (kegitan yang dicontohkan atau diajarkan dari Allah SWT melalui nabi Muhammad SAW) yang ditetapkan tersebut di sampaikan melalui utusannya Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam (SAW). Ajaran islam yang disampaikan tersebut ditekankan pada tauhid (mengesakan Allah sebagai tuhan tidak ada sesembahan yang layak disembah) dan mengakui nabi Muhammad SAW sebagai utasan dan penerima wahyu. Mendirikan sholat, berpuasa pada bulan ramadhan, memberikan zakat, dan naik haji di mekkah apabila mampu. Dilain sisi ada yang dibebankan unutk berlaku baik sebagai prilaku sehari-hari dan tidak menindas segala sesuatu yang ada di muka bumi, berkata jujur, hingga ajaran untuk patuh kepada pemimpin yang ada disepakati oleh kelompok masyarakat. Dan tidak boleh berpisah dengan umat-umat seiman (Islam). Sehinga bagi yang mengimani akan keberadaan Allah SWT dan mengikuti aturan-aturan yang telah di tuntukan oleh Nabi Muhammad SAW disebut seorang muslim.

Kehidupan masyarakat Aceh sebelum Islam masih mudah unutk melakukan pembunuhan dan perampokan. Disaat ajaran Islam pola kehidupan tersebut ditata secara bertahap. Konsep kemasyarakatan dengan pola khalifah yang sebelumnya belum dikenal tersebut menjadi bagian dari aktualisasi berkesesuaian dengan individualistik dan bermasyarakat. Masyarakat Aceh memberikan gelar syech pada sesorang hampir sama dengan padanan kata khalifah dan terdapat dua fungsi. Sebagai pemimpin keagamaan (ulama) atau pemimpin dalam barisan grup kesenian. Syech pada masa keislaman masih dalam taraf pengenalan ditengah-tengah masyarakat juga terlibat memberikan kontribusi dibidang kesenian. Kesenian yang di hadirkan di tengah-tengah masyarakat sebagai sebuah budaya tandingan, dan sekaligus membuat kognitif baru bagi masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai media pesan-pesan keislaman yang mudah dan singkat. dimulai oleh para syech yang juga terlibat di dalam barisan kesenian selama pertunjukan. Setelah sekian lama syech dikenal sebagai tokoh agamawan (ulama) dan dilain sisi sebagai seorang seniman. Maka Apabila syech  tersebut memasuki arana pertunjukan maka ia sebagai pengatur keserasian disetiap pertunjukan seni.

C.    Teori seni islam

Peradaban seni bagi kaum muslim pada awalnya adalah masih merupakan kegiatan yang belum menjadi sasaran utama bagi peradaban umat islam. Seni  pada masa arab kuno masih bersifat keahlian seseorang yang mampu mengungkapkan segala sesuatu dengan kata-kata indah dan berbau mistik atau lebih dikenal dengan syair. Dijelaskan oleh Philip k haiti :

 “Puisi-puisi terdahulu  ini terus dilestarikan dalam ingatan, ditransmisikan melalui tradisi lisan dan akhirnya di catat dalam bentuk tulisan pada abad kedua dan ketiga hijriah...prosa bersajak yang digunakan oleh para dukun dan peramal (kuhhan) dipandang sebagai tahap awal perkembangan bentuk puitis. Nyanyian para penunggang unta (Huda) adalah tahap perkembangan kedua. Tradisi bahasa arab asli yang berisaha menjelaskan asal-usul perkembangan puisi pada kebiasaan para penunggang kuda yang bernyanyi mengikuti gerak ritmis langkah untunya, tampak mengandung kebenaran. Kata hadi, penyanyi, adalah sinonim dari kata sa’iq, penunggang unta.

 Gaya puisi rajaz, yang terdiri atas empat atau enam baris sajak, merupakan perkembangan lebih lanjut dari prosa sajak dan mengantikan bentuk sajak yang paling tua dan paling sederhana. “rajaz adalah embrio puisi,” demikian ujar orang-orang arab, “dengan prosa bersajak [saj] sebagai ayahnya dan lagu sebagai ibunya.”

Al qur’an  selama masa kenabian Muhammad SAW merupakan kalimat wahyu yang memiliki padanan kata diatas rata-rata pemahaman manusia pada masa tersebut. Baik dari segi perkataanya yang mengandung tanda-tanda yang mengagumkan, dan irama kalimat yang memiliki bunyi yang sangat mudah, Sehingga tidak jarang pada masa tersebut banyak para penyair untuk menantang nabi Muhammad SAW bahwa isi kalimat al qur’an dapat di tandingi dengan mengunakan syair manusia biasa. Namun al qur’an merupakan petunjuk bagi manusia dan memperbaiki ahlak manusia. Dimana pada masa Arab kuno masih yang banyak tidak mengetahui akan tujuan hidup dan siapa yang menciptakan alam semesta. Sulah al alaq 96 1-5: merupakan sebagai seurah pertama yang turun sekaligus sebagai tanda bukti kenabian Muhammad ditugaskan untuk mengemban menyampaikan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai Tuhan pencipta alam semasta.

“1)Bacalah, atas nama tuhanmu yang telah menciptakan, 2)Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. 3)Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. 4)yang mengajar (manusia) dengan perantara pena (kalam). 5)Dia mengajari manusia apa yang belum diketahuinya”  

 Perjalanan peradaban Islam pada generasi selanjutnya mulai berkembang mengunakan konsep-konsep seni sebagai penyebaran risalah keislaman yang menjadi wilayah kekuasaan Islam. Tokoh-tokoh kesenian banyak yang di konsepsikan oleh kelompok sufistik. Sufi merupakan Kaum muslim yang menjalankan aktivitas peribadatan yang lebih menekankan dengan keseimbangan jiwa, atau dikenal oleh kalangan kaum muslimin dengan aliran ilmu tasawuf. Kaum sufi banyak mengunakan kekuatan ontologi. Pola tersebut Pengaruh pertemuan kebudayaan Yunani. Dan pada saat itu islam dihadapkan dengan penjelasan Islam dengan mengunakan keselarasan akal dengan tanda. Kelompok sufi tersebut banyak menelurkan karya-karya kritik terhadap keilmuan para filosof Yunani. Tokoh-tokoh tersebut adalah al-farabi, ibnu sina, al-ghazali, ibn al-Rasyd dan masih banyak lagi.

Mereka berpendapat terhadap Pemahaman konsep seni Yunani, seni merupakan imitasi (memesis) yang dapat diciptakan oleh manusia (crasio). Menurut ibnu sina karya Seni, sebagai mana juga menurut al-farabi, pada hakikatnya bersifat imaginatif, rasail ilmiah mendasarkan pada objetifitas dan pembuktian logis. Penyalinan secara akliah yang dibuat imajinasi bersifat subjektif dan tidak memerlukan pembuktian logis. Bardasarkan pandangan al-farabi ini al-farabi dan al-Jurjani mengatakan :

“bahwa hubungan Objek-Objek  estetis dalam karya seni dengan realitas dapat dirumuskan sebagi berikut: 1). Tahsin (menghias, memberigaya atau stalasi). 2). Tahqih (Perusakan, deformasi) dan 3). Mutabaqah (pemberian Balance atau keseimbangan, yaitu keseimbangan dimensi jasmani dan dimensi rohaninya)”[5]

Penghayatan estetik bagi seorang muslim merupakan bagian dari kesadaran inteleknya. Dengan kata lain pengalaman estetik dapat mengugah dan menyegarkan jiwa seseorang, dan membawanya  unutk memasuki pada situasi makna, artinya seseorang dapat menghayati suatu makna baru dalam pelajaran hidupnya dan membuat hidupnya lebih bermakna. Seseorang dapat mengembangkan pengalaman estetiknya pada pengembangan pemikiran imajinatif yang sering sekali bergerak meloncat-loncat dan tidak liner, yang mendorong kreatifitasnya bekerja lebih cerdas unutk membuka kemungkinan baru dan membri jalan mencari terobosan baru. [6] 

Seni bagi muslim merupakan bagian yang dijadikan bagian aktifitas dakwah dan untuk menjalin umat. Aktifitas seni dikonsepsikan agar tidak melakukan kembali hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sehingga para ilmuan, ahli adab, ulama fiqih dan usuluddin, serta ahli tasawuf berpegang pada pendapat ini. Maka seni dapat berfungsi sebagai sarana efektif menyebarkan gagasan, pengetahuan , informasi  yang berguna bagi kehidupan seperti pengetahuan dan informasi berkenaan sejarah, geografi, hukum, undang-undang, adab, pemerintahan, politik, ekonomi dan gagasan keagamaan.[7]

Seni bagi masyarakat muslim secara umum sebagai keahlian seseorang mengunakan instrument serta mengolah nada. Dalam pemahaman umat muslim tetang musik merupakan kesadaran pengunaan Khosiat ( ciri khas dan sifat) instrument / benda. Potensi bunyi sebagai sarana relaksasi  atau imajinasi, pelengkap suasana (perayaan maupun sebagai tanda). Sehingga konsep yang telah disusun secara sistematis tersebut disebarkan kedalam kebudayaan masyarakat Aceh.

Persebaran kesenian musik merupakan sebagai pengubah mental. musikal sebelumnya pra moderen yang dominan nada tunggal dan monoton, menuju irama yang senang, sedih, tegas dan lebih variatif. (proses pengenalan irama bacaan/qiraah Al-Qura’an serta pengenalan bahasa Arab dan di padukan dengan bahasa Aceh), serta penghilangan konsep atau idiologi musik sebagai bagian kosmologi alam. Dimana masyarakat pra moderen musik sebagai media penghubung yang transendent.

D.    Tingkah laku

1. Verbal dan Proses Pembelajaran

Aceh merupakan kota yang kosmopolit pada abad ke 17. Aceh telah menjadi kawasan majemuk dan terbuka. Keragaman etnis dan budaya mengharuskan pengelolaan negara harus memiliki kebijaksanaan  brilian dari penguasa Aceh. Dengan sikap keterbukaan, Aceh mengadopsi apa yang dianggap penting dan sesuai dengan kepercayaan dan tradisi mereka. kebijaksanaan tersebut adalah mengadopsi bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan, bukan bahasa Aceh. Disebutkan oleh Leonard Andaya sebagai “model masyarakt Melayu Aceh abad ke 17.” Dengan perubahan standarisasi ke-Melayu-an dengan mengunakan pondasi Islami, sehingga Aceh menjadi pewaris kebudayaan Melayu kerajaan Malaka, secara lebih Islami.

Aspek yang dominan dari unsur budaya tersebut terdapat pada dimensi sastra dan tradisi kerajaan. tradisi kerajaan mengunakan bahasa Melayu menjadi bahasa intelektual Islam. Aceh ketika itu menjadi pusat kajian Islam yang menghasilkan berbagai karya ke-Islaman dalam bahasa Melayu. Kesuksesan pengunaan bahasa Melayu tersebut Aceh menjadikan alat penyebaran Islam menyebar keseluruh nusantara sekaligus menjadikan bahasa melayu sebagai lingua franca.

Sastra Aceh dikalangan masyarakt masih mengunakan bahasa Aceh asli. Pendekatan sastra tersebut sebagai sarana penyebaran intelektualitas dan keagamaan. Sastra berasal dari kata sas (ajaran) dan tra (alat). Sastra adalah alat (wahana) untuk mengajarkan kearifan hidup. Sehingga sastra memiliki bahasa yang khas, mengkomunikasikan sebuah kebenaran. Sastra tersebut dikemas mengenai kisah para Nabi-nabi, cerita sosok raja yang adil atau yang keji, kisah muda mudi, hari kebangkitan, dituangkan dalam bentuk syair dan pantun-pantun. Syair tersebut terkadang di lagukan atau bahasa komunikasi sehari-hari.

Kemampuan seorang syech adalah menyampaikan ajaran-ajaran hidup berasaskan keislaman dengan mengunakan bahasa yang santun, informatif, perumpamaan, imajinatif, dan menarik. Bahasa sastra terkait dengan pikiran, dengan pikiran orang akan dapat memahami sesuatu dengan cerdas. Sastra juga dapat menjadikan hikmah (pelajaran) bagi pendengarnya. Sosok syech bagi masyarakat menjadi pusat perbendaharaan kata-kata setiap melakukan interaksi sosial.

Pengenalan bahasa sastra merupakan serapan yang sangat disenangi oleh masyarakat Aceh. Pengenalan etika bersumber dari sastra tersebut menjadi kognitif yang terus menerus diaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Gaya bahasa, irama, serta penekanan juga mempengaruhi Fonis (bunyi bahasa) masyarakt Aceh. Maka dengan sendirinya menjadi sebuah Fonemik (bunyi ujaran atau Logat) disaat ada pertemuan antara satu kelompok atau individual yang belum saling mengenal. Logat tersebut mempermudah interaksi dan keakraban. Pengunaan logat sebagai tanda untuk mengunakan bahasa yang lazim atau bahasa Melayu.        

Pertunjukan kesenian rapa’i sering di perlombakan antar kampung, atau disebut dengan tunang. Tunang merupakan pertandingan ketangkasan antar kelompok rapa’i yang dibentuk suatu kampung dan dipimpin oleh seorang syech. Selama pertunjukan tersebut dilaksanakan selama semalaman suntuk. Maka peran seorang syech harus mampu menciptakan pantun-pantun, maupun syair. Irama pantun biasanya dibagi dalam 3 babakan. Tahapan ini sengaja dipakai agar dapat menyampaikan tema acara yang dipentaskan. Tema-tema acara tersebut adalah maulid nabi, kenduri kampung, perayaan kerajaan, sunatan, pernikahan, dan lain-lain. Sehingga seorang syech harus memiliki kemampuan mengolah kata dan kalimat agar pesan-pesan tersebat sesuai dengan konteks.

2.      Sosial dan Syech

Syech berasal dari kata Arab yang di adopsi menjadi padanan bahasa orang Aceh. Syech berarti orang yang dapat memberikan petuah, nasehat, orang yang memiliki pengetahuan banyak, menangani permasalahan konflik maupun kenyamanan sosial, pemimpin keagamaan, atau sosok yang mewakili sesuatu kelompok. Sosok Syech merupakan orang yang paling tua diantara para kelompok manusia. Sosok tersebut mengetahui banyak hal untuk dapat menyelasaikan segala permasalahan yang ada di kelompok tersebut. Di dalam Islam mengajarakan dengan konsep khalifah untuk menjaga umat muslim. Dalam kontek politik, harus dipahami sebagai konsep kekuasaan politik yang berlandaskan hukum-hukum Allah, baik yang tersurat dalam firman-firman-Nya maupun yang terkandung dalam diri manusia dan alam semesta, yaitu hukum agama dan moralitas, hukum akal sehat dan hukum alam. Maka kosep Syech yang juga berkesesuaian dengan konsep islam tersebut tetap digunakan hingga kini dan masyarakat Aceh.

Kehidupan masyarakat Aceh sebelum Islam masih mudah untuk melakukan pembunuhan (Tueng bila/balas dendam). Disaat ajaran Islam pola kehidupan tersebut ditata secara bertahap. Konsep kemasyarakatan dengan pola khalifah yang sebelumnya belum dikenal tersebut menjadi bagian dari aktualisasi berkesesuaian dengan individualistik dan bermasyarakat. Bagi orang Aceh gelar syech hampir sama dengan padanan kata khalifah dan terdapat dua fungsi. Sebagai pemimpin keagamaan (ulama) atau pemimpin dalam barisan grup kesenian. Syech pada masa keislaman masih dalam taraf pengenalan ditengah-tengah masyarakat juga terlibat memberikan kontribusi dibidang kesenian. Kesenian yang di hadirkan di tengah-tengah masyarakat sebagai sebuah budaya tandingan, dan sekaligus membuat kognitif baru bagi masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai media pesan-pesan ke-Islaman yang mudah dan singkat. Sosok syech tersebut di gunakan juga dalam barisan permainan kesenian rapa’i selama pertunjukan. Syech dapat dikenal sebagai tokoh agamawan (ulama) dan dilain sisi sebagai seorang seniman. Maka Apabila syech  tersebut memasuki arena pertunjukan maka ia sebagai pengatur keserasian disetiap pertunjukan seni.

3.      Rapa’i

Rapa’i dikenal oleh masyarakt aceh dikenal pada abad X seorang ulama besar : Syech Abdul Qadir Al-jailani dari Arab / Iraq ke Aceh untuk mendampingi “Tuan Di Kandang Syech Bandar Darussalam” yang bernama Mahdum Abi Abdullah Syech Abdul Rauf Bagdadi untuk memperluas ilmu agama dan ilmu pengetahuan di Aceh dengan membawa Seni Rapa’I dan Debus asal Persia.[8] kesenian Rapa’i memasuki persebaran kedalam wilayah masyarakat aceh khususnya wilayah pesisir mengalami pengembangan dan penambahan. Kesenian rapa’i dikembangkan menambah gairah masyarakat mempelajari ilmu agama Islam.[9]

 Jenis-jenis kesenian rapa’i memiliki ragam bentuk pertunjukan. Namun secara garis besar memiliki kesamaan pola diantaranya. Jumlah pemain satu kelompok dapat terdiri dari 12-40 orang. Memainkan dengan posisi duduk dengan berbanjar lurus (shaf shalat) atau melingkar seperti obat nyamuk. Seorang syech berada pada posisi di tengah diapit oleh asisten disebut dengan apet wi (kiri) dan nen (kanan), memiliki penyanyi solois yang berada pada posisi di luar barisan disebut dengan aneuk diek. Tiap akhir dari suatu babakan dimainkan dalam tempo cepat, dan disaat itu pula dihentikan secara serempak dan mendadak.[10]

4.      Tunang

Pertunjukan kesenian Rapa’i sering di perlombakan antar kampung, atau disebut dengan Tunang. Tunang merupakan pertandingan ketangkasan antar kelompok rapa’i yang dibentuk suatu kampung dan dipimpin oleh seorang syech. Selama pertunjukan tersebut dilaksanakan selama semalaman suntuk. Maka peran seorang syech harus mampu menciptakan pantun-pantun, maupun syair. Irama pantun biasanya dibagi dalam 3 babakan. 1) Babak pembuka disebut dengan Saleum. 2) Babak Tema terdiri dari Bak saman, Likok, Saman, Kisah. 3) Babak penutup Lani / Ekstra.

Rapa’i tunang dilakukan agar kelompok masyarakat saling membangun wilayahnya dengan keilmuan berasaskan ke-Islaman. Ajang persaingan antar kelompok rapa’i kearah intelektual terus dibangun, agar segala sesuatu dapat diselesaikan dengan mengunakan akal dan etika yang baik dengan mengunakan media sastra. Persaingan tersebut sebagai pengelolaan emosi masyarakat yang memiliki kelompok kesenian rapa’i dapat di arahkan menjadi positif dan sportif.

Tunang rapa’i biasanya diadu antar dua kelompok yang saling tidak mengenal atau memang sudah pernah menjadi lawan tanding sebelumnya. Diantara dua kelompok tersebut akan diberikan pembatas tali dan diantara tali tersebut akan berdiri seorang juri memberikan tanda untuk memulai perlombaan. Acara tunang terdiri dari kelompok tuan rumah dan pendatang Ragam tunang terdapat dua jenis :

1. Tunang dimulai kelompok tuan rumah memainkan pola musik dan kelompok pendatang akan memperhatikan untuk nanti akan di ikuti. Juri memberikan tanda memulai memainkan pola musikal tuan rumah, namun permulaan pola musik lawan tidak pada posisi birama yang sama. Tergantung dari juri kapan ia memulai pertandingan. Pertandingan ini akan dinilai oleh para penonton kelompok mana yang dapat menjaga pola lagu yang berbeda birama dan suara rapa’i yang nyaring. Maka apa bila ada yang kehilangan bentuk pola musik akan disoraki oleh penonton dan hasil perlombaan akan di ketahui. Pola bentuk musik menjadi bagian babakan yang menetukan kemenangan sebuah kelompok rapai. Jenis perlombaan rapai tunang dikenal dengan uroh. Berkembang pada wilayah Aceh timur.

2. Tunang rapa’i Pantun dan Dabus (atraksi kebal terhadap bendatajam) . Setiap babakan akan memiliki pola musik yang sama. Namun yang menjadi menarik dalam tunang ini adalah kemampuan seorang syech menjawab pantun yang dilontarkan oleh pihak lawan dan memvariasikan pola bentuk musik rapa’i. Kecakapan seorang syech mengolah kalimat sangat dipertaruhkan untuk membuat kelompok lawan tidak dapat menjawab pantun balasan. Kejernihan suara tabuhan rapa’i juga mempengaruhi. Semakin jernih suara rapa’i dengan mudah untuk menghilangkan suara rapa’i lawan tandingnya. Maka kesempatan mempengaruhi fokus lawan tanding juga sangat digunakan oleh seorang syech selama tunang. Klimaks babakan tunang ini akan berdiri sorang pemain debus untuk menyemangati kelompoknya dan sekaligus sebagai penanda kelompok tersebut sebagai pemenang babakan tersebut.

Pertunjukan tunang bukan sekedar ajang melakukan perlombaan semata. Namun, sebagai sarana mempertemukan antar kamupung agar dapat saling mengenal dan membangun sikap silahturahmi. Disetiap penghujung acara akan selalu dilakukan kenduri pemotongan kambing atau kerbau dan makan bersama. Kegiatan tersebut agar antar kelompok tidak ada dedam kepada kelompok yang telah mengalahkan mereka dipanggung.

5.      Budaya musikal

Bila diamati secara priodik, maka manusia hidup dalam suatu kehidupan yang menyerupai irama lingkungan, sehingga dapat kita lihat masyarakat Aceh lebih menyenangi pertunjukan kesenian saman atau seudati, yang di dalamnya terdapat ketangkasan & kelincahan mengerakaan tubuh pemain dan musik iringan hanya mengunakan vokal dan tubuh digunakan sebagai irama ritmis yang menarik perhatian. seperti yang kita ketahui dalam dunia Kronobiolog yang mempelajari irama tubuh percaya bahwa irama adalah bagian terpenting dalam kehidupan. pengaruh pengalaman ritmis sangat luas karena irama adalah faktor kritis dalam kemahiran bahasa. pada akhirnya disimpulkan bahwa aktivitas gerak tubuh dapat menimbulkan rasa senang. Kondisi ini sangat penting karena hampir semua dasar dari interaksi sosial adalah berirama (djohan,psikologi musik.2009 :59).

Para peneliti menemukan bahwa “ orang terlibat dalam sebuah interaksi sosial secara tanpa disadari bergerak ’dalam ruang’ satu sama lain melalui koordinasi ritme gerak dan isyarat yang seolah memperlihatkan semua karakter tarian (montagu&matson,1979). Sehingga, keserasian akan terjadi bila dua orang atau lebih memiliki kesesuaian dalam irama yang sama. evolusi memfasilitasi kita dengan kapasitas untuk dapt menginterpretasikan suara. Dengan demikian pemikiran atas memberikan alasan bahwa manusia adalah mahluk ritmis yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan prilakunya secara tepat. Sebelumnya manusia mungkin tidak tahu mengapa secara khusus diperlakuakan secara musikal. Sementara, dalam kesehariannya sudah memperaktikan beberapa aspek ritmis melalui kemampuan berbicara atau berkomunikasi yang esensinya sama dengan musik.

Kemahiran bahasa adalah salah satu langkah terpenting bagi spesies manusia untuk mempertahankan dan memperpanjang usia hidup oleh sebab itu atribut yang membantu proses ini harus lah yang terbaik atau pilihan. Aspek musikal dari bahasa seperti garis melodi , variasi timbre, dan ritme juga merupakan aspek terutama dalam bahasa. Ritme juga memainkan peranan penting dalam kemahiran bahasa (djohan,psikologi musik 2009:65). Melalui beberapa maksud seperti bahasa tubuh, konteks dan terutama melalui aspek musikal dari bahasa (prosody), maka seorang dapat mengekspresikan makna “sebenarnya” dari arti di bali sebuah kata. Pada termilogi biologis dikatakan bahwa otak dilengkapi dengan sistem saraf yang memiliki kemampuan untuk memproduksi dan menginterpretasikan pesan verbal dan non verbal sebagai langka penting dalam hidup. Satu keuntungan dari aspek musikalnya otak adalah terhadap kemahiran bahasa (djohan,psikologi musik 2009:66).

masyarakat Aceh hanya mengikuti kesenian yang di ajarkan para syech. Seperti yang kita ketahui kesenian ini dapat mempangaruhi jiwa manusia ke arah yang baik dan juga ke arah yang buruk , seperti yang di unkapkan oleh Frijda (1986) emosi muncul dan terjadi karena adanya objek tertentu. Sementara emosi adalah suatu reaksi komplek terdiri dari perubahan fisiologis dari keadaan seimbang yang secara subyektif dialami sebagai perasaan dan di manifestasikan dalam perubahan tubuh dan dinyatakan melalui tindakan overt . dalam psikologi ,emosi di kelompokan ke dalam Pleasant (menyenangkan) dan unpleasant (tidak menyenagkan) (djohan,psikologi musik 2009:65).

Islam sangat memberi perhatian besar pada keindahan. Bahkan Islam memberi perhatian kepada bimbingan indra prasaan, karena Dia-lah yang menjadikan manusia dapat menikmati dan menghayati berbagai keindahan di alam ini (Qardhawi, yusuf ,Islam berbicara seni 2004:51) . Mereka sepakat atas bolehnya nyanyian yang tidak berisikan kata-kata kotor dan jorok, yang tidak menimbulkan ransangan birahi. yang di nyanyikan pada momen-momen kegembiraan seperti acara pernikahan, menyambut orang-orang yang datang dari rantau, hari raya, dan semisalnyaa. Semua itu dengan syarat bahwa penyanyinya bukan wanita yang ditonton kaum laki-laki. Ulama telah membuat ketetapan, “pada asalnya sesuatu (yang bersifat duniawi) itu boleh hukumnya”. Ini didasarkan pada firman Allah SWT, Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu semua..(Al-Baqrah: 29). Dari sini lah para ulama Aceh membagi-bagi seni pertunjukan kesenian Aceh dalam berbagai macam bentuk yang di perbolehkan dalam aturan agam Islam sendiri. Sebagian ulama ada yang berkata – terutama kalangan sufi, bahwa nyanyian itu dapat melembutkan hati, membangkitkan rasa sedih dan penyesalan terhadapa perbuatan maksiat, dan membangkitkan rasa rindu kepada Allah. Oleh karena itu, mereka menjadikan media untuk memperbahurui jiwa, menyegarkan, dan membangkitkan kerinduan Ilahi. Mereka lalu berkata, “persoalan ini tidak dapat di pahamikecuali dengan perasaan, penglaman dan latihan; ‘barang siapa merasakan, niscaya dia akan mengerti’.tidak selamanya berita itu sebagai mana realitas yang terjadi” (Qardhawi, yusuf,islam berbicara seni 2004:70).

Ibnu Zubair pernah berkata alat musik juga sebagai alat menyeimbangkan akal, yang di karenakan pada manusia itu memiliki keterbatasan dalam melekasanakan aktivitas sehari-harinya dan di dalam ajaran agama Islam sendiri hiburan itu bersifat mubah (boleh) ,karena tiada seorang pun yang dapat bertahan dengan keseriusan dan kegetiran memperjuangkan kebenaran, kecuali para nabi (islam berbicara seni hal 86)11. Ali bin Abi Thalib berkata “hiburlah hati sekali-kali, karena hati dipaksa terus menerus dapat menjadi buta” Al-Adfawi berkata “para ahli riwayat tidak berselisih pendapat dalam menisbatkan bolehnya memukul alt musik kepada Ibrahim bin Sa’ad” (Qardhawi, yusuf ,islam berbicara seni 2004:91).

E.     Bentuk musikal

Lirik dan tema

1.      Babak pembuka

Saleum

Pembuka pertunjukan merupakan hal yang sangt utama bagi orang Aceh. Prilaku saling menghormati secara keislaman serta basa-basi merupakan awal diskusi. Irama Saleum (sapa-menyapa) dinyayikan sebagai penghantar penari masuk sekaligus salam penghormatan pada penonton. Beberapa lagu yang biasa dinyanyikan adalah:

Assalamualaikom cut bang payong dilem jak... (Assalamualaikum saudara datang dengan bersusah payah untuk bertemu)

Atau

Assalamualaikom jamee baroee troh... (Assalamualaikum tamu telah sampai)

Kalimat saleum merupakan kunci dari pertunjukan. Irama seorang Seych yang merdu serta kalimat yang sopan akan membawa penonton menikmati pertunjukan tersebut.

2.      Babak Tema

Bak saman

Sesi bak saman biasanya sebagai penyeteman suara Syahi dengan pemain rapa’i sekaligus menentukan gerakan selanjutnya. Irama lagu bak saman biasanya mengunakan satu huruf dan satu nada. Seperti

Iiiiiiiiii atau eeeeeee

Likok

Merupakan sesi atraksi mengiringi tarian. Iringan irama lagu biasanya dimulai dari lambat hingga cepat. Biasanya sesi ini seorang Syech melakukan improvisasi irama disaat kelompok melakukan tempo musik cepat.  

Saman

Saman merupakan nyanyian Syech dan diulang oleh grup. Ragam pantun/syair, berupa nasehat maupun pantun jenaka muda-mudi di tampilkan  pada sesi ini.

Kisah

Kisah adalah menceritakan riwayat-riwayat sambil menari. Riwayat-riwayat tersebut kisah para raja-raja, kisah pemerintahan dulu maupun sekarang, penerangan agama, pendidikan, kisah membangkitkan perjuangan dan sebagainya.

3.      Babak penutup

Lani / Ekstra

Lani ialah suatu irama terakhir dari pertunjukan untuk menghibur penonton yang sejak tadinya telah penat mengikuti adegan-adegan. Eksta atau Lani ini memegang peranan penting dan menentukan dalam suatu babak. Lani atau ekstra merupakan Klimaks pertunjukan. Penentuan klimaks ini merupakan bagian yang ditunggu-tunggu oleh penonton. Sehingga Ketidak serasian tema antara likok, saman,kisah, dan ekstra/Lani akan menimbulkan kesan bahwa syech dimaksud kurang baik dalam penampilan atraksinya.[11]

Pola permainan Rapa’i

Pemain rapa’i memiliki komposisi pemain membagi pukulan. Pemain yang memiliki Pola tersendiri memiliki penamaan seperti, bak (dasar) di mainkan oleh syech, canang (dimainkan oleh apet wi dan neun), paso (pengisi) di mainkan oleh satu orang yang bermain bergantian, dan rando (peningkah).

Pola permainan rapai memiliki banyak varian namun diantaranya terdapat pola yang dasar sperti pola

t .d  dd t atau d t d t

pola tersebut akan dibagi

Penutup

Kerajaan Aceh yang mulai dikenal dari abad ke 12 masih dikenal dengan kerajaan Pasai. Walaupun sebelumnya kerajaan aceh sudah di rintis oleh kerajaan peurlak sekitar tahun 840. Pada masa perjalanan kerajaan aceh yang terus mengalami Perluasan hingga keujung pulau Sumatra bagian barat dan kerajaan aceh mulai mengalami perpindahan kekuatan ke wilayah Banda Aceh. Disaat kerajaan Banda Aceh yang sudah mulai mengalami kestabilan secara maksimal dan memasuki masa puncak kejayaan. Sehingga kerajaan peurlak dan pasai tunduk di bawah kekuasaan banda Aceh dan  terjadi penyatuan akan kerajaan-kerajaan besar  tersebut maka Aceh telah memiliki kekuasaan teroterial kerajaan dari ujung sumatra hingga perbatasan Medan. Keberhasilan kerajaan Banda Aceh menyatukan suku-suku yang ada di sekitar wilayah kerajaanya. Merupakan tonggak peradaban yang terus di jaga hingga kini. Perjalan sejarah terus menerus diingat dan di perjuangkan bagi setiap generasi muda aceh untuk mengulanginya kembali. Syech merupakan seorang tokoh sentral dalam membangun peradaban Aceh. Penentuan memberikan syech berdasarkan pengakuan, prilaku dan keilmuan dari masyarakat maupun diangkat oleh para bangsawan atau raja.

 

KEPUSTAKAAN

Asy’arie, Musa. 1999 Filsafat Islam, Yogyakarta:Lembaga Studi Filsafat Islam. 

Darmawan, Hendro. 2013. Kamus Ilmiah Populer. Yogyakarta: Bintang Cemerlang.

Isjkarim. 1981  “Kesenian Tradisional Aceh”, hasil lokakarya 4/8 januari di Banda Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh,

Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat : Edisi Paripurna. Yogyakarta: Tiara Wacana.

K Haiti, Phlilip. 2014, History Of The Arabs, terj.R. Cecep Lukaman Yasin dan Dedi Slaemet Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 

Moehammad Hoesin, 1970 Adat Atjeh. Aceh : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pov Daerah Istimewa Aceh.

Murtala. 2009. Yuslizar dan Kreasi yang Mentradisi. Banda Aceh: No Goverment Individual.

Nettl, Bruno. 2012 Teori dan Metodologi dalam Etnomusikologi. terj. Nathalian H.P.D Putra. Jayapura: Jayapura Center Of Music.

Raji Al-Faruqi, Ismail. 1999. Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetika Islam terj. Hartono Hadi Kusumo. Yogyakarta: Bentang Budaya.

W.M, Hadi, Abdul, Heurmeunetika, Estetika, dan Religiusitas : Esai-esai Sastra Sufistik Dan Seni Rupa, Yogyakarta: Matahari 2004.

 

Banda Aceh 16 Oktober 2020

Penulis : Rudi Asman, S.Sn.

 




[1]Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra antara Indonesia dan dunia, (Jakarta: Pustaka Yayasan Obor Indonesia, 2011), 10:26.

                [2]Anthony Reid, 10:26.

[3]Murtala, Yuslizar dan Kreasi yang mentradisi, (Banda Aceh: No Goverment Individual, 2009),10-13.

[4]Moehammad Hoesin, Adat Atjeh. Aceh : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pov Daerah Istimewa Aceh 1970.,4

[5]Abdul Hadi W.M, Heurmeunetika, Estetika, dan Religiusitas, (Yogyakarta: Matahari 2004) 252.

[6]Filsafat islam 13-136

[7]Abdul hadi W.M,237

                [8]Culture, Serune kale alat musik tradisional Aceh ( http://melayuonline.com  diunduh 1 Januari 2013).

[9]Isjkarim. 1981  “Kesenian Tradisional Aceh”, hasil lokakarya 4/8 januari di Banda Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 2.

[10]Isjkarim. 1981  “Kesenian Tradisional Aceh”, hasil lokakarya 4/8 januari di Banda Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh,22

[11]Kesenian Tradisional Aceh, hasil lokakarya 4/8 januari 1981 di Banda Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 48.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kumpulan Metode Penelitian untuk Musik Aceh

  Klasifikasi merupakan mengenal ciri khas atau pembagian kelompok permasalahan   dari suatu objek sehingga kita akan menjadikan objek ter...

popular post